Ketua TP PKK Provinsi Bali: Usaha Tata Rias Harus Berpedoman pada Adat dan Tradisi

(Baliekbis.com),Ketua TP PKK Provinsi Bali Ny. Putri Koster mengatakan setidaknya ada tiga organisasi yang mewadahi para ahli tata rias dan pengusaha salon yaitu Asosiasi Rias Pengantin Modifikasi dan Modern Indonesia (KATALIA), Himpunan Ahli Tata Rias Pengantin Indonesia (HARPI MELATI) dan Tiara Kusuma yang mewadahi para ahli kecantikan dan pengusaha salon.

“Ketiga organisasi itu saya harapkan dapat melaksanakan tugas dan tangung jawab, tetap bersinergi dengan program pemerintah,” ujar Putri Koster saat menghadiri Musyawarah Daerah ke-5 yang dirangkai dengan pelantikan pengurus Persatuan Ahli Kecantikan dan Pengusaha Salon Indonesia yang tergabung dalam wadah DPD Tiara Kusuma Provinsi Bali, Minggu (8/3/2020) di Ballroom Quest Hotel Denpasar.

Dalam berkreativitas, mereka yang bergerak dalam usaha salon dan tata rias diharapkan tetap berpedoman pada dua hal, yaitu upaya pelestarian dan pengembangan budaya Bali. Jangan sampai keduanya berbenturan. Ketiga organisasi harus bersinergi dalam dua ruang ini yaitu pelestarian dan pengembangan.

“Saya mengamati, tren tata rias, khususnya tata rias pengantin Bali mengalami perkembangan yang sangat pesat. Untuk itu mereka yang bergerak di bidang usaha tata rias harus tetap berpedoman pada adat dan tradisi, khususnya bila riasan dan busana itu dikenakan untuk ranah adat,” jelas Putri Koster.

Dikatakan dalam tata rias pengantin Bali, leluhur telah mewariskan etika berbusana yang sangat elegan dan penuh estetika yang dibagi dalam beberapa tingkatan, yaitu payas agung dan madya. Riasan mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki telah ada pakemnya, dan bila diikuti akan menghasilkan tata rias yang anggun.

Dengan alasan memenuhi permintaan pengantin, belakangan ini banyak terjadi modifikasi dalam tata rias dan penggunaan busana adat Bali. Misalnya penambahan jubah yang sangat panjang hingga memenuhi halaman rumah, tinggi bunga juga terkadang tidak mengindahkan ukuran wajah si pengantin hingga kemudian menimbulkan hal yang tidak pas dan secara estetika sangat mengganggu.

Bila aturan tata rias yang diwariskan leluhur diindahkan, tata rias pengantin Bali sebenarnya sudah pas dengan pemakainya. Landasan seorang perias adalah etika, estetika dan norma. Dalam penggunaan busana pengantin, penglingsir juga sudah memperhitungkan mana wilayah seksi. Jadi seksi itu tidak harus memperlihatkan kulit ari.

Untuk itu, Putri Koster berharap kepada mereka yang bergerak di bidang tata rias, ikut memikul tanggung jawab pelestarian. Modifikasi jangan kebablasan hingga anak cucu tak mengenal lagi payas Bali. “Saya tidak mengekang kreativitas dan kemajuan di bidang tata rias, namun ranah penggunaannya harus tepat. Untuk ranah adat, harus tetap lestari sesuai pakem,” jelasnya.

Putri Koster juga mendorong adanya FGD tiga organisasi yang begerak dalam usaha tata rias dan salon sehingga ada satu pemahaman dalam upaya pelestarian dan pengembangan. OPD terkait diminta merancang payung hukum agar keberadaan seluruh pengusaha salon dan tata rias bisa diwadahi untuk mencegah perang harga.

Selain itu, payung hukum ini juga dibutuhkan untuk mencegah malpraktek dalam dunia kecantikan, karena belakangan banyak wanita yang ingin kulitnya jadi lebih putih atau hidung mancung. Padahal belum tentu sebuah produk yang ditawarkan salon kecantikan aman bagi mereka. Yang ada, bukannya tambah cantik, tapi malah sebaliknya.

Masih terkait busana pengantin, Putri Koster minta kepada pelaku usaha tata rias yang menyewakan busana agar menggunakan kain songket hasil tenun, bukan bordiran yang belakangan banyak beredar di pasaran. Kita harus ambil bagian dalam upaya pelestarian tenun tradisional Bali.

Sementara itu, Ketua DPD Tiara Kusuma Bali Periode 2020-2024 Dra. Ni Ketut Sriati Dana mengajak seluruh anggotanya untuk bersama-sama bekerja sesuai dengan tupoksi yang didasari rasa tulus iklas. Sedangkan Kadis Pendidikan Provinsi Bali yang diwakili Sekretaris Dinas Pendidikan Ketut Sudarma meminta pengusaha yang bergerak di bidang salon dan tata rias mengangkat kearifan lokal dalam karya mereka. (ist)