Ketua Perbarindo: Pemenuhan Modal Rp 6 Miliar, BPR Bisa Kolaborasi

(Baliekbis.com), Adanya POJK Nomor: 5/POJK.3/2015 yang antara lain mewajibkan modal inti minimum BPR sebesar Rp6 miliar dinilai masih bisa diatasi BPR yang bersangkutan. “Yang penting keuntungan BPR jangan dulu dibagi tapi dipakai untuk menambah modal. Kalau pun masih belum cukup, BPR masih bisa berkolaborasi antarsesama BPR. Memang ini cukup sulit menyatukan satu sama lain,” ujar Ketua Perbarindo Bali Ketut Wiratjana di sela-sela acara “Evaluasi Kinerja BPR 2018 Provinsi Bali dan Outlook Ekonomi 2019”, Selasa (4/12) di Trans Hotel Kuta yang diikuti ratusan pengurus BPR yang tergabung dalam Perbarindo Bali. Dalam acara yang dihadiri Sekda Bali Dewa Gede Indra itu juga hadir Kepala OJK Regional 8 Bali-Nusa Tenggara Hizbullah.

Hizbullah.

Dikatakan Wiratjana, memang saat ini ada 51 dari 136 BPR di Bali yang belum memenuhi POJK dimana modalnya masih di bawah Rp 6 miliar. Namun dia optimis dengan berbagai opsi yang ada, POJK itu akan bisa dipenuhi. Apalagi sesuai ketentuan, waktunya sampai tahun 2019. “Kan waktunya sampai akhir tahun 2019. Jadi masih cukup ada waktu untuk itu. Nanti kita akan bahas itu agar BPR bisa memenuhinya,” tambah Wiratjana optimis.

Terkait kredit bermasalah yang cukup tinggi yakni mencapai 9,24 persen di atas NPL BPR Nasional sebesar 7,16 persen dikatakan hal itu terjadi pada sejumlah BPR. Sebagian besar BPR, justru NPL-nya rata-rata baik, bahkan ada yang nol persen. BPR yang NPL-nya tinggi itu dikatakan karena terkena dampak lesunya ekonomi sehingga sebagian debitur terkendala melaksanakan kewajibannya.

Dikatakan memang BPR telah mengantongi AYDA (agunan yang diambil alih). Namun tak serta merta hal itu bisa ditindaklanjuti seperti dengan jalur hukum. BPR juga mengalami kendala dengan umur AYDA yang hanya setahun. “Waktunya terlalu cepat. Kita kan juga ingin tetap menjaga hubungan dengan debitur. Jadi masih diupayakan dengan pendekatan dulu,” tambahnya. Wiratjana menambahkan kredit bermasalah itu dominan pada nasabah yang bermain di bisnis properti. Karena ekonomi lesu maka sektor properti mengalami stagnan sehingga berdampak pada pembayaran kredit.

Sementara itu Kepala OJK Regional 8 Bali-Nusa Tenggara Hizbullah mengatakan bagi 51 BPR yang belum memiliki modal inti Rp6 miliar itu, sebaiknya melakukan merger. Hizbullah juga mengingatkan kondisi permodalan BPR yang berpotensi tertekan akibat AYDA yang telah dan akan jatuh tempo. Ia minta BPR mencermati jumlah AYDA yang terus meningkat. Sebab hal ini berpotensi menurunkan permodalan bank akibat ketidakberhasilan dalam menyelesaikan agunan dalam setahun. Berdasarkan data OJK, jumlah AYDA BPR di Bali pada September 2018 telah mencapai Rp 249,93 miliar, meningkat 20 persen.

Dalam sambutannya Hizbullah mengatakan ada 5 permasalahan yang dihadapi BPR di Bali. Pertama terkait permodalan (lack of capital), kedua yakni kurang optimalnya penerapan GCG BPR.
Ketiga terkait ketidakhandalan sistem teknologi informasi (lack of IT), permasalahan keempat yakni produk dan layanan BPR yang masih terbatas. Dan yang terakhir adalah struktur dana BPR yang didominasi dana mahal. (bas)