Ketua DPW PSI Bali Jadi Tim Advokat Jangkar Solidaritas Gugat UU Pemilu

 

(Baliekbis.com), Pasca disahkan dan diundangkan oleh pemerintah Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum langsung banjir gugatan, termasuk juga gugatan yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia. Permohonan judicial review  yang telah diajukan PSI ke Mahkamah Konstitusi tanggal 21 Agustus 2017 adalah terkait Permohonan Pengujian Pasal 173 ayat (3) jo. Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 173 ayat (2) huruf e UU Pemilu.

Ketua DPW PSI Bali I Nengah Yasa Adi Susanto yang ikut jadi Tim Advokat bersama 6 Advokat dari Jaringan Advokasi Rakyat (JANGKAR) Partai Solidaritas Indonesia menegaskan Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu 2017 yang berbunyi: “Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai partai politik Peserta Pemilu” khususnya pada frasa “… tidak diverifikasi ulang dan…” jo. Pasal 173 ayat (1) yang berbunyi: “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU” khususnya pada frasa “… telah ditetapkan/…” adalah bertentangan dengan Pasal 22 E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Sedangkan Pasal 173 ayat (2) huruf e UU Pemilu 2017 yang berbunyi: menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusatadalah bertentangan dengan Pasal 22 E ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 H ayat (2), Pasal 28 I ayat (2), dan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.

Menurut Adi yang juga Advokat di Kantor Hukum Widhi Sada Nugraha yang beralamat di Jl. Tukad Barito Timur Renon ini, Minggu (27/8) disela-sel silaturahmi dengan wartawan mengatakan bila MK konsisten dengan putusan sebelumnya yang juga telah membatalkan pasal terkait parpol lama tidak ikut diverifikasi maka kami sangat yakin permohonan kami bisa dikabulkan oleh MK. Ketidakharusan parpol lama untuk ikut verifikasi adalah bertentangan dengan asas keadilan sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Kalau mau fair dan adil setiap parpol wajib untuk diverifikasi lagi sebagai syarat bisa ikut pemilu karena ada dinamika perkembangan parpol yakni perubahan kepengurusan, penambahan 1 provinsi, 18 kabupaten/kota, perubahan demografi yakni penambahan jumlah penduduk sehingga akan mempengaruhi jumlah persyaratan keanggotaan, dan yang lebih parah adalah konflik kepengurusan parpol seperti yang dialami oleh  PKPI dan PPP. Jadi karena beberapa alasan tersebut maka semua parpol wajib untuk diverifikasi sebelum bisa ikut pemilu 2019 nanti, tegas Adi.

Sedangkan terkait dengan persyaratan minimal 30% kepengurusan yang hanya di Pusat sedangkan di kabupaten/kota dan kecamatan tidak ada ketentuan khusus yang mengatur hal tersebut sangat tidak adil karena hak dan kepentingan perempuan pada tingkatan lain selain tingkat  pusat menjadi tidak terlindungi. Bahwa pemberlakuan kuota keterwakilan perempuan (affirmative action) atau disebut juga reverse discrimination bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama antara perempuan dan laki-laki, sekalipun dalam dinamika perkembangan sejarah terdapat perbedaan karena alasan kultural, keikutsertaan perempuan dalam pengambilan keputusan dalam kebijaksanaan nasional dibutuhkan untuk memastikan bahwa partisipasi dan suara perempuan masuk dalam rencana pembangunan baik dari tingkat lokal hingga tingkat nasional, tegasnya. (bas)