Kasus Persetubuhan Anak di Buleleng, Ipung: Apapun Motifnya Harus Tetap Diproses

(Baliekbis.com), Kasus persetubuhan yang menimpa anak berusia 12 tahun di Buleleng telah menggegerkan Bali. Sebagaimana dalam video yang beredar, siswi SMP itu disetubuhi secara bergantian oleh empat orang anak di bawah umur.

Empat anak laki-laki yang dalam video tersebut diinformasikan masih berusia 14 tahun, 15 tahun (2 orang) dan 16 tahun satu orang.

Terkait kasus tersebut, Kapolres Buleleng AKBP Andrian Pramudianto sebagaimana dilansir oleh beberapa media mengatakan jika perbuatan yang dilakukan tersebut atas dasar suka sama suka.

Meski begitu, Kapolres Buleleng tetap mengatakan kasus yang telanjur viral di media ini akan tetap diproses sesuai dengan aturan dan Undang-undang tentang Perlindungan anak yang berlaku di Indonesia.

Tapi, pernyataan Kapolres yang menyebut dugaan awal kasus ini terjadi karena adanya latar belakang suka sama suka sangat disayangkan sehingga mendapat protes keras dari advokat sekaligus aktivis anak dan perempuan Siti Sapura atau yang akrab disapa Ipung.

Oleh karena itu Ipung meminta Kapolres Buleleng mencabut pernyataan jika kasus dugaan perkosaan terhadap anak berusia 12 tahun dilakukan atas dasar suka sama suka.

“Karena kalimat atas dasar suka sama suka tentu akan menyakitkan banyak kaum perempuan, atau keluarga korban, atau korban itu sendiri,” ucap Ipung, Rabu (15/12/2021).

Menurutnya, statement Kapolres Buleleng ada indikasi memberikan edukasi yang tidak baik dan memunculkan stigma negatif.

Ipung juga meminta Kapolres mencabut pernyataan jika anak korban dibayar. Karena dalam kasus cabul dengan korban anak di bawah umur tidak ada istilah dibayar, dan tidak ada alasan pembenaran apapun untuk tidak menindaklanjuti.

“Sekarang mari kita sama-sama belajar pak, saya tidak bermaksud menggurui bapak, tidak mengurangi rasa hormat saya kepada bapak dan kita sama-sama orang hukum,” ucapnya.

Ditambahkan, dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), diatur beberapa hal. Jika anak pelaku dan anak korban, atau anak pelaku saja berbuat pidana, anak pelaku disebut anak berhadapan dengan hukum (ABH). Sementara umurnya dari 0 hari sampai 18 tahun.

Jika anak melakukan tindak pidana dari 0 hari sampai 12 tahun, perkara tindak pidana tidak bisa diproses hukum oleh kepolisian, namun anak pelaku bisa diserahkan kepada orangtuanya, jika orangtuanya masih sanggup dan mampu mendidik, mengasuh dan melindungi anaknya. Dan harus ada surat pernyataan di atas materai.

Namun jika orangtuanya sudah mengakui tidak sanggup, maka negara harus hadir disini, melalui Bapas, UPTD PP, atau P2TP2A. Setiap kota dan setiap kabupaten ada, termasuk di Bali.

Ada juga dinas sosial melalui Sakti Peksos-nya. Lembaga ini yang harus turun mewakili negara yang punya tanggung jawab untuk menyelamatkan anak-anak Indonesia, secara hukum adalah anak berhadapan dengan hukum jika anak berusia 0 hingga 12 tahun.

“Jadi saat itu juga kasus harus dihentikan, tapi diserahkan kepada negara,” jelasnya.

Jika anak pelaku umur 12 tahun sampai 14 tahun, proses hukum harus tetap dilanjutkan namun tidak bisa dilakukan pidana badan. Dan persidangannya harus mengacu kepada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 yaitu Sistem peradilan pidana anak.
Apapun Motifnya, Ipung Minta Kasus Persetubuhan Anak di Buleleng Harus Tetap Diproses

Dalam sidang tersebut majelis hakim tidak boleh memakai toga, jaksa tidak boleh memakai seragam toga, penasihat hukum tidak boleh memakai toga, dan persidangan dilakukan secara tertutup untuk umum.

“Namun karena dia tidak bisa dipidana badan, disini harus diserahkan kepada orangtuanya. Dan orangtuanya harus bersaksi di depan ruang sidang. Mengatakan bersedia mengasuh, mendidik dan tidak mengulangi perbuatan pidana lainnya, atau perbuatan yang sama. Orangtua harus berjanji di atas materai. Maka majelis hakim bisa menyerahkan kepada orangtuanya sesuai dengan putusan,” ucapnya.

lanjut dia, jika ancaman pidana ABH kurang dari 7 tahun atau bukan residivis itu bisa Diversi atau mendapatkan Restoratif Justice.

“Sehingga proses hukum tidak bisa dihentikan atas dasar suka sama suka. Jadi demi kepentingan terbaik anak, yang lebih diprioritaskan adalah penyelamatan hak atas diri korban. Baru kita lihat tersangka atau para pelaku. Kalau sampai pelaku lebih dari satu berarti di sana ada rayuan bujuk rayu tipu muslihat. Walaupun Korban bersedia,” tambahnya.

Menurut Ipung, sebagaimana yang di maksud pada pasal 81 tentang persetubuhan anak di bawah umur dan pasal 82 Tentang perbuatan cabul. Barang siapa, mengajak melakukan membiarkan membiarkan melakukan Perbuatan cabul dan persetubuhan terhadap anak di bawah umur dengan tipu muslihat , bujuk rayu seperti uang dengan ancaman terhadap anak di bawah umur 0-18 tahun, ancaman hukumannya minimal 10 tahun dan maksimal 20 bahkan sampai hukuman mati.

“Karena dalam kasus ini anak berhadapan dengan hukum (ABH), tentu tidak boleh minimal 10 tahun tapi separuh dari hukuman dewasa. Tidak ada istilah uang jika korban masih di bawah umur. Kecuali korban dan pelaku adalah di usia dewasa,” jelasnya.

Ipung juga memberikan saran dan masukan kepada negara melalui anggota legislatif di Indonesia. Dimana untuk pelaku anak di bawah umur, jika anak itu tidak bisa dipidana badan, maka diberikan pengambil alih hukuman kepada orang tua atau wali.
Artinya jika anak 0-14 tahun kan Harus dipidana.

“Jadi pengambil alih hukuman adalah orangtua sebagai tindak pidana penelantaran anak. Karena atas pengasuhannya anak ini dianggap diberikan pengasuhan yang salah. Itu ada di UU perlindungan anak. Cuma kita belum punya aturan yang mengalihkan hukuman pidana kepada anak di bawah umur kepada orangtua. Mohon UU ini cepat dibuat oleh anggota legislatif,” usulnya.

Yang terakhir Ipung juga memberikan masukan dan saran kepada Kemeterian Informasi dan Informatika untuk memblok semua konten yang berbau porno yang beredar secara liar di internet

“Negara harus turun tangan dan hadir untuk menyelamatkan anak-anak Indonesia. Kominfo harus peka dengan kondisi saat ini dimana saat ini anak-anak sangat mudah mengakses konten yang berbau porno, tentu saja hal ini tidak boleh terjadi jika ingin menyelamatkan anak-anak Indonesia,” pungkas Ipung. (eli)