“Kasepekang” Sebagai Daya Paksa Dalam Ranah Pilkada

(Baliekbis.com), Sanksi adat yang cukup ditakuti adalah Kasepekang dikarenakan dapat menimbulkan daya paksa dalam meraup dukungan dan suara salah satu paslon demi kepentingan prajuru desa. Seharusnya prajuru desa se-netral mungkin untuk menjauhi kepentingan dalam ranah pilkada dan menjadi pemegang kunci dari nilai-nilai keagamaan yang berwawasan filosofis Pancasila.

Masyarakat hukum adat Bali dalam kesehariannya diatur dengan hukum adat yang mayoritasnya menganut agama Hindu. Sehingga di dalam masyarakat hukum adat Bali, antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan. Salah satu karakteristik masyarakat hukum adat adalah dapat diidentifikasi dengan hakikat sanksi adat bagi pelanggar norma hukum adat seperti memberi sanksi sosial, moral, atau sanksi melakukan ritual tujuannya adalah untuk mengembalikan keseimbangan atau mengembalikan seperti dalam keadaan semula (restutitio in integerum) dalam wilayah desa adat.

Sanksi adat yang cukup ditakuti adalah Kasepekang, biasanya kasepekang diberikan oleh warga desa adat dan prajuru desa (kelian, pekaseh, penyarikan dan kerta desa) berdasarkan paruman atau musyawarah dikarenakan seseorang atau sekelompok orang melanggar awig-awig atau peraturan desa adat setempat. Ketakutan seseorang atau sekelompok orang akan kasepekang ini membuat atau dapat menimbulkan daya paksa ketika prajuru desa menetapkan suatu kebijakan ke arah politik dalam ranah pilkada sehingga kebebasan seseorang atau sekelompok orang menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya menjadi terhalang.

Hal itu bisa saja terjadi pada saat menjelang pemilu dikarenakan prajuru desa atau desa adat setempat dijanjikan sesuatu hal untuk kepentingannya. Kepentingan tersebutlah yang menjadikan prajuru desa abuse of power dalam mengintervensi masyarakatnya dalam memenangkan suatu paslon baik dalam pilkada ataupun pemilu. Hal itu seharusnya tidak boleh terjadi dikarenakan di masyarakat hukum adat Bali dan agama Hindu tidak dapat dipisahkan secara filosofis. Dalam ajaran agama Hindu sudah pasti tidak diajarkan mengenai penyalahgunaan kekuasaan untuk suatu kepentingan dengan menghilangkan hak-hak seseorang atau sekelompok orang menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Apabila ada permasalahan demikian, setampaknya prajuru desalah yang patut diberikan kasepekang dikarenakan menyalahi kekuasaan abuse of power untuk mewakili kepentingannya dalam ranah suatu pilkada atau pemilu serta melanggar dasar dasar dari Hak Asasi Manusia yang beralaskan hakiki dari Agama Hindu itu sendiri.

Kepentingan seperti inilah bagi masyarakat hukum adat Bali sangat perlu dipahami dan dicermati, apabila ada paslon baik dalam pilkada ataupun pemilu yang menjanjikan suatu hal pantaskah hati nurani seseorang yang berdasarkan agama itu adalah demi kebaikannya atau demi kebaikan bersama. Banyak orang menyatakan menginginkan sosok pemimpin yang bersih, yang sederhana dan merakyat akan tetapi ketika suatu kepentingan dijadikan modal dalam meraih suatu dukungan dan suara maka pernyataan dari orang yang menginginkan sosok pemimpin yang bersih, yang sederhana dan merakyat hanya isapan jempol belaka.

Seharusnya prajuru desa dimungkinkan se-netral mungkin untuk menjauhi kepentingan dalam ranah pilkada tersebut. Sebagai prajuru desa dan pemegang kunci dari nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat adat membuka wawasan bahwa perbedaan dalam demokrasi itu wajar. Bukan sebaliknya prajuru desa ikut terjun dalam ke ranah politik pilkada atau pemilu untuk meraup dukungan dan suara. Artinya independensi, akhlak dan moral prajuru desa perlu dipertanyakan, karena sudah tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan sebagaimana tertuang dalam pembukaan konstitusi.

Kalaupun prajuru desa ingin menjadi pendukung paslon dalam pemenangan pilkada, semestinya prajuru desa mengundurkan diri dari posisi atau jabatan yang sangat sakral dan dihormati oleh masyarakat adat. Dapat dibayangkan apabila hal ini terjadi, para paslon kepala daerah cukup menghubungi prajuru desa, untuk memenangkan pilkada bukan mengembangkan visi dan misi ke depan untuk Bali. Maka dari itu sebaiknya Badan Pengawas Pemilu beserta jajaranya yang terkait untuk ikut menjamin terciptanya stabilitas politik yang kondusif dan melaksanakan tugas berdasarkan UU No. 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum Pasal 97 mengenai tugas Bawaslu Provinsi melakukan pencegahan dan penindakan di wilayah Provinsi terhadap pelanggaran Pemilu. Saah satu pelanggaran pemilu yaitu mengancam dengan kekerasan atau menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pemilihan pemilu.

*Ni Komang Sutrisni,S.H., M.H. (Dosen Univ. Mahasaraswati)