ISI Denpasar Hadirkan Bijaknya Sosok Tualen

(Baliekbis.com), Dalam dunia pewayangan, sosok Tualen yang dikenal sebagai penasihat nan bijak kini dibahas khusus dalam sebuah garapan bertajuk “Bhisama”.

Melirik persoalan perbedaan perspektif generasi old (orang tua) dengan generasi now (anak muda) membuat tim penggarap dramatari bertajuk Bhisama ini pun kian tertarik menghadirkan sosok Tualen sebagai penengah di antara kedua generasi itu.

Salah satu tim penggarap yakni I Putu Bagus Bang Sada Graha Saputra yang akrab disapa Gus Bang menuturkan peran Tualen yang diketahui sebagai sosok yang bijak sangat cocok menjadi penasihat dalam konflik yang terjadi.

“Kerap kali kita menemui perbedaan paham antara generasi tua dan muda baik dari alur berpikir maupun budayanya, sehingga sosok Tualen-lah yang nantinya akan memberi nasihat bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk bersatu,” papar Gus Bang. Tampil di Kalangan Madya Mandala Taman Budaya, Denpasar dalam Gelar Seni Akhir Pekan Bali Mandara Nawanatya III, Gus Bang mengungkapkan para penampil sebagian besar berasal dari mahasiswa semester 1 (satu). “Kita memberi ruang dan kesempatan kepada mahasiswa semester 1 dulu untuk memberikan pengalaman, tapi ada juga beberapa mahasiswa semester 5 dan 7 yang membantu,” ujar Gus Bang.

Mahasiswa ISI Denpasar yang pentas pada Sabtu (6/10) ini pun berasal dari prodi pendidikan seni pertunjukkan dramatari yang menghadirkan kolaborasi drama tari dan musik. Menjalani latihan kurang lebih selama 20 kali, mahasiswa ISI tampak bersemangat dalam menampilkan garapan dramatari. Kolaborasi gerakan tari modern dan tradisional sebagai sebuah penggambaran perbedaan budaya antara jaman dulu dengan sekarang. Saat terjadi pertengkaran antara golongan tua dan muda, sosok Tualen pun datang di akhir cerita sebagai pemberi petuah.

Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar yakni I Komang Sudirga mengungkapkan dirinya sangat mengapreasiasi pertunjukkan yang dilakoni anak didiknya. “Saya juga apresiasi antusiasme penonton yang cukup ramai,” tambah Sudirga. Sudirga pun berharap dengan adanya ruang kreativitas layaknya Nawanatya dapat menambah kerjasama sekaligus pengalaman untuk menciptakan garapan yang lebih baik dan tajam.

Garapan ISI Denpasar yang telah dikenal masyarakat luas sebagai sekolah seni ini nyatanya mendapat komentar yang cukup tajam dari salah satu pengamat seni yakni I Wayan Dibia. Menurut penuturan Dibia, penyutradaraan garapan bertajuk Bhisama ini pun terlalu dibiarkan liar sehingga improvisasi menjadi tidak terkontrol. Dibia pun turut menambahkan bahwa dari segi penambahan humor perlu diperhatikan tata cara dan bahasanya. “Ah kotor agak memisuh-memisuh gitu itu bagi kita di Bali itu mungkin ada omongan yang kasar dalam arti gaya. Tapi memisuh itu tidak diperbolehkan karena itu tidak pas dengan kepercayaan kita bahwa panggung itu adalah ruang suci,” jelas Dibia.

Pengamat seni ini pun berujar bahwa sebelum digunakan, panggung disucikan terlebih dahulu, sehingga dengan begitu panggung harus dijaga kesuciannya. Ketika diisi dengan pisuhan-pisuhan begitu itu yang menyebabkan tontonan menjadi agak kotor, tambah Dibia. Dibia tak menampik bahwa setiap garapan memiliki nilai di dalamnya. Pesannya memang terakhir bagus tapi di tengah itu terlalu dibuka rongganya besar. Sehingga penonton kelelahan menunggu apa pesan yang sebetulnya sudah bisa ditebak bahwa pesannya akan seperti itu, tapi mengapa harus ditunda tunda, papar Dibia. Hendaknya ini menjadi sebuah cermin bagi ISI Denpasar untuk memperbaiki diri dan mengembalikan wajah ISI yang sejati. (gfb)