​Ipung Laporkan Kasus Tanah di Kampung Bugis Serangan ke Kejaksaan Agung dan KPK

(Baliekbis.com) ,Persoalan jalan di Kampung Bugis Serangan yang dibangun di atas lahan milik Siti Sapura alias Ipung sebagai ahli waris Daeng Abdul Kadir, hingga saat ini belum juga terselesaikan.  Hal ini karena pihak-pihak yang diduga mengetahui asal usul lahan yang dijadikan jalan ini pun terkesan diam saja.

Ditambah lagi muncul pihak lain yang malah mengklaim lahan seluas 7 are itu adalah miliknya. Dengan raut wajah yang terlihat lelah, Ipung kembali mengatakan, kalau dia tidak bermaksud menggurui siapapun. Dia hanya ingin memberi edukasi atau pengetahuan tentang kepemilikan hak warisan dari ayahnya yang bernama Daeng Abdul Kadir di Kampung Bugis Serangan yang diserobot alias diklaim pihak lain. “Saya sudah katakan dari awal bahwa saya mengantongi bukti sangat lengkap, karena asal usul dari tanah itu memang jelas, merupakan tanah warisan dari ayah saya,” tegas Ipung kepada wartawan di kantornya, Kamis (2/6/2022).

Karena tidak mau urusan ini hanya bolak balik begitu saja yang malah   membuatnya gerah, ia pun mulai mengambil langkah tegas dengan  mengancam akan melakukan tindakan penutupan jalan jilid II, setelah sebelumnya sempat dilakukan penutupan pertama pada, Rabu 9 Maret 2022 lalu. Hanya saja saat itu dia hanya menutup jalan dengan menggunakan batako dan semen ala kadarnya. Tapi untuk rencana penutupan jalan jilid II ini, Ipung akan menutup secara permanen, sehingga tidak ada pihak yang bisa membongkar atau melintasi jalan itu.

Tapi sebelum hal ini dilakukan, Ipung yang paham betul dengan urusan hukum, terlebih dahulu melakukan upaya dengan mengirim somasi kepada dua pihak yang dianggap paling tahu soal tanah tersebut. Selain mengirim somasi kepada dua pejabat di Desa Serangan ini, Ipung juga bersurat ke beberapa instansi lainya termasuk ke Presiden Joko Widodo. Ipung menjelaskan mengapa dia harus membawa masalah ini ke kemana-mana. Ipung menyebut,  pertama, mengajukan surat keberatan kepada Walikota. Kedua, keberatan kepada Camat Densel, termasuk Lurah dan Jro Bendesa dalam bentuk somasi.

Ipung menyebut suratnya juga ia tujukan mulai kepada Presiden Joko Widodo, Kementerian Agraria, Menteri Lingkungan Hidup, Ombudsman RI, KPK, Kejaksaan Agung, BPN Pusat, BPN Bali, PT Denpasar, PN Denpasar, Camat, Lurah, Jro Bendesa, dan lainnya. Soal dua pejabat di Desa Serangan yang disebut Ipung diberikan somasi adalah Lurah Serangan I Wayan Karma dan Jro Bendesa Adat Desa Serangan I Made Sedana.

Terkait alasan mengapa mengirim somasi kepada Lurah Serangan dan Jro Bendesa Adat Desa Serangan, Ipung mengatakan bahwa, kedua pejabat ini adalah temannya semasa kecil saat masih tinggal di Pulau Serangan. Sehingga kedua pejabat ini pun pasti mengetahui dimana Ipung tinggal dan menetap. “Kedua orang ini adalah teman kecil saya, jadi kedua orang ini paling tahu pada saat itu saya di Serangan saya tinggal dimana, dan tanah yang sekarang jadi jalan ini tanah siapa, mereka berdua ini tahu. Tapi kenapa saat ini mereka diam saja,” kata Ipung.

Atas alasan inilah. Ipung mengirim somasi yang sudah dilayangkan sejak, Rabu (1/6/2022) dan  diberi batas selama 7 hari kepada kedua orang ini. Dalam somasi, selain menjelaskan kembali soal kepemilikan tanah yang dijadikan jalan, Ipung juga memberi waktu untuk mereka selama 7 hari kedepan agar menyelesaikan persoalannya ini dengan membayar kompensasi atas penggunaan tanahnya sebagai jalan selama 7 tahun ke belakang.

Dalam surat somasi itu, Ipung juga langsung merinci soal harga yang harus diganti atau dibayarkan atas tanahnya yang dijadikan jalan. “Jika tidak mampu membayar, kembalikan tanah itu kepada saya seperti semula. Jika tidak, jangan salahkan saya menutup jalan secara permanen,” katanya.

Sementara soal mengapa Ipung membawa persoalan ini sampai ke Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan meminta bantuan kepada koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman, ini  karena ia menduga ada uang rakyat yang juga ikut menjadi korban dalam persoalannya ini.

Dijelaskannya, pada saat pertemuan di Kantor Lurah Serangan, Sabtu 19 Maret 2022 usai dilakukan penutupan jalan, Ipung mendapat informasi  ada statemen dari Kepala Bagian Bina Marga yang menyebut bahwa tanah itu bukan bagian dari SK, tapi ada permohonan pengajuan proposal dari Desa Adat. Ipung menjelaskan, proposal yang diajukan oleh Jro Bendesa Adat Serangan adalah permohonan untuk melakukan pengaspalan hotmix di atas lahan miliknya. “Atas proposal itu maka tanah saya ini diajukan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang),” jelasnya.

Karena Musrenbang, maka di sana ada anggaran negara atau uang rakyat yang digunakan atau dikeluarkan untuk mengaspal dan kompensasi tanah miliknya itu. Ipung juga menyebut, karena ada anggaran negara melalui Musrenbang, maka dilakukanlah pengaspalan yang kedua. Menyinggung lagi soal surat yang dikirim ke Walikota Denpasar, Ipung  menyatakan surat itu isinya adalah  keberatan karena sebelumnya mengeluarkan statement tentang tanah itu merupakan milik Pemkot berdasarkan SK.

“Semoga melalui curhat saya Bapak Walikota terketuk hatinya, karena tanah yang saya perjuangkan ini direncanakan untuk dibangun Rumah Aman. Karena setahu saya di Bali belum ada Rumah Aman, sehingga ketika ada korban yang saya tangani, nanti bisa tinggal di Rumah Aman. Kalau selama ini, korban saya tempatkan di rumah saya atau hotel, sehingga ‘cost’ nya jadi tinggi,” lanjut advokat pembela perempuan dan anak ini.

Kepada wartawan Ipung juga menjelaskan kronologi lahan di Kampung Bugis Serangan, yang mulanya merupakan milik dari warga bernama Sikin yang kemudian dijual kepada Daeng Abdul Kadir dengan akta jual beli Nomor 28/57 pada tahun 1957. Pernah ada gugatan dari ahli waris Sikin atas tanah itu, namun putusan Pengadilan Negeri Denpasar menyebutkan bahwa tanah seluas 1,12 hektare itu sudah diperjualbelikan oleh Sikin kepada Daeng Abdul Kadir dan sejak 1957 menjadi milik Daeng Abdul Kadir dan tidak pernah di perjualbelikan oleh ibu saya.

Tahun 2009, sebanyak 36 KK menggugat Maisarah dengan dasar gugatan bahwa tanah yang ditempati para penggugat adalah wakaf dari Cokorda Pemecutan. Selanjutnya pada fakta persidangan mengungkapkan jika tanah yang dikuasai penggugat adalah milik Daeng Abdul Kadir. Akhirnya pada tahun 2012, putusan Mahkamah Agung menerangkan bahwa seluruh bangunan dalam tanah sengketa harus dihancurkan dan dikembalikan seperti semula. Namun tidak dilakukan eksekusi, dikarenakan penggugat 36 KK membuat surat pernyataan dalam waktu enam bulan akan membongkar bangunannya sendiri.

Ternyata hal ini tidak dilakukan, sehingga rencana eksekusi akan kembali dilangsungkan. Para penggugat kembali membuat surat pernyataan dan mengatakan akan mengajukan PK. Jika PK ditolak, mereka berjanji akan bersedia dieksekusi paksa. Demi kemanusiaan, pihak pemohon eksekusi mundur. Kejadian ini tercarut-marut dalam belitan kasus hukum yang belum selesai, sampai akhirnya kemudian Ipung mendengar bahwa tanahnya diklaim oleh BTID) dengan dasar menggunakan SK MLH pada tahun 2015.

Dalam SK MLH itu menjelaskan dengan rincian bahwa ada tukar guling tanah yang digunakan PT BTID seluas 62.14 hektar. “Di tengah konflik masalah atas tanah itu, saya kemudian melakukan penutupan jalan pada tanggal 9 Maret 2022. Nah setelah penutupan itu, ternyata muncul klaim dari Pemkot Denpasar yang mengatakan kalau tanah itu adalah milik Pemkot berdasar SK tahun 2014,” jelas Ipung. Dikatakannya, dasar yang digunakan adalah berita penyerahan lahan yang ditandatangani pada 2 Mei 2016. “Jadi ini ibarat kata, akta kelahiran itu sudah diterbitkan padahal ‘bayinya’ belum lahir,” ujarnya.

Tanah itu, lanjut Ipung, sudah dihotmix dengan menggunakan uang negara atau uang rakyat. Dan setelah sempat dilakukan penutupan jalan, Ipung pernah dipanggil para petinggi Pemkot Denpasar, namun ia memilih mengabaikannya. “Kenapa saya harus mengikuti panggilan itu? Kan tanah itu milik saya secara sah. Bukti otentik kepemilikan dari tahun 1957 sudah ada di tangan saya,” ujar Ipung sambil menunjukkan tumpukan dokumen di depannya.(bas)