Indigenous Celebration 2018: “Menempatkann Tradisi untuk  Penghormatan terhadap Dunia”

(Baliekbis.com), Indigenous Celebration yang dipentaskan di Museum Arma, Ubud, Bali, pada tanggal 11-13 Mei 2018 dibangun secara kreatif sebagai nara-hubung antara masyarakat adat dari Indonesia, Pasifik dan India, termasuk Odisha dan Nagaland. Ada 34 suku yang mewakili dan terlibat aktif di dalam acara ini, termasuk Gayo dari Aceh, Nusa Tenggara Timur, Dayak Punan, Kelompok Australian Aboriginal dari Australia, Dayak kenyah, Marind dari Papua, Kelompok Maori dari Selandia Baru, juga Odhisa dan Nagaland dari India. Secara keseluruhan, 200 pribumi berkumpul di Bali untuk perhelatan ini dari sungai, hutan, desa-desa kecil hingga permukiman perkotaan yang lebih besar.

Perayaan ini memberikan kesempatan unik bagi para peserta untuk memperkuat identitas asli mereka. Mereka berbagi ide, pengetahuan, dan kearifan lokal serta membaur dalam lanskap panggung yang selaras dengan irama kuno, lagu-lagu dan tarian sakral.  Upacara pembukaan Indigenous Celebration ini dipimpin oleh penatua masyarakat Dayak Maanyan. Upacara ini dipandu secara takzim dengan diiringi oleh ritual doa sebagai langkah meminta izin dari leluhur dan meminta bantuan untuk menjaga lokasi acara selama acara berlangsung. Upacara ini melibatkan nyanyian kuno disertai dengan taburan beras dan air suci. Indigenous Celebration yang berlangsung selama tiga hari menempatkan tradisi untuk menghormati dunia yang terlihat, dan sekaligus yang tidak terlihat. Tema-tema lain yang melingkupi festival ini, juga mecangkup keunggulan artistrik, kolaborasi, persatuan hubungan antar-budaya yang kuat, persahabatan dan rasa hormat terhadap alam.

Pementasan malam hari menampikan pertunjukan tari yang spektakuler di panggung, dibalut dengan pengaturan cahaya yang memukau, pemetaan koreografi, visual mapping, serta dilengkapi oleh cerita dari para penatua suku, dan tak kalah apik, pembacaan puisi menjadi kunci esensi pada malam itu. Pada malam penutupan, menghadirkan demonstrasi langsung teknik bertatto oleh dua suku yang berbeda yaitu Mentawai dan Dayak Iban, sungguh memikat hati penonton. Ada 29 lokakarya di siang hari, yang juga menerapkan tenun dari Nusa Tenggara Timur sebagai konten acara tersebut. Selain itu terdapat juga lokakarya pembuatan film bertemakan pribumi dan penyembuhan yang sehat oleh Suku Maori dari Selandia Baru. Semua kegiatan ini menarik penonton sekitar 2.500 orang yang hadir selama tiga hari acara.

Acara ini diprakasai oleh David Metcalf dan Emmanuela Shinta. David Metclaf yang merupakan pemilik Taksu Photo Gallery di Ubud adalah seorang fotografer dan penulis yang fokus pada dokumentasi pribumi di Indonesia, dan Shinta adalah pendiri Yayasan Ranu Welum, Kalimantan Tengah. Dukungan diberikan oleh kedutaan Selandia Baru dan semua mitra termasuk Arma Museum, Green School, dan juga Antida Music Productions sebagai pelaksana acara Indigenous Celebration ini.

Semua pihak berkontribusi penting dengan cara yang berbeda-beda dalam acara ini untuk membawa elemen-elemen seni pertunjukan, pendidikan, dan budaya secara bersamaan dan berkolaborasi dan ditampilkan utuh dalam acara ini. 34 Kelompok Pribumi pun dipilih dan diseleksi oleh David dan Shinta melalui konsultasi dengan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). Shinta mengatakan Indigenous Celebration adalah sebuah perayaan untuk identitas, kekuatan, dan keanekaragaman Pribumi.” Menurut David, Kolaborasi antara Indonesia dan Masyarakat Adat lainnya menciptakan platform untuk dialog dan pertukaran gagasan dan pengetahuan, dan memungkinkan ide mengalir dalam rajutan kebersamaan dengan ditemukan ikatan yang akan dibentuk. Dengan menambahkan pembacaan cerita dan puisi untuk pertunjukan tari yang dramatis, kami menggali lebih jauh berbagai khazanah budaya yang mengakar pada para sesepuh negeri. Sangat penting bagi Shinta dan saya sebagai pendiri untuk menciptakan kesadaran akan kearifan lokal/ tradisional, pada pertunjukan ini dengan dimensi dan cahaya yang baru. “

Dari segi edukasi, Indigenous Celebration mengambil tempat lebih jauh di Green School pada tanggal 14 dan 15 Mei 2018, seusai acara di Arma Museum tersebut, dan melibatkan para pemimpin Adat dan para Penatua dari suku-suku yang bertemu dengan para siswa muda di ruang kelas. Selesai dengan diskusi panel antara tujuh kelompok yang meliputi suku Odisha, India, dan Suku Atoni dari Nusa Tenggara Timur. Indigenous Celebration adalah acara tahunan dan telah berjanji untuk menanam satu pohon di Kalimantan untuk setiap tiket yang dijual pada acara ini.

Tahun depan, Komite berharap lebih banyak lagi keterlibatan dan dukungan baik dari kedutaan, maupun dari sponsor yang memiliki komitmen tulus mendukung budaya pribumi untuk bergabung dalam acara ini. Indigenous Celebration mencari mitra untuk bekerja sama dalam semangat kolaborasi lintas budaya. Ini adalah visi komite untuk memperluas peran perayaan dalam mengingat dan memperkuat solidaritas dengan alam, tradisi kesukuan, dan pelestarian budaya, dan kehormatan keragaman nusantara yang memperkuat identitas Indonesia di mata dunia, sebagai sebuah bangsa. (ist)