I Nengah Yasa Adi Susanto: Aparat Penegak Hukum Jangan Asal Tangkap Prajuru Desa Adat Bilang Pungli

(Baliekbis.com), Kepolisian Daerah Bali bersama jajarannya akhir-akhir ini gencar melakukan penangkapan terhadap oknum pecalang maupun petugas yang ditugaskan oleh desa adat untuk memungut sumbangan yang tidak dikerjasamakan dengan pemkab setempat.

Merespon ‘galaknya’ aparat terhadap dugaan pungli yang dilakukan oleh Desa Adat, Ketua DPW Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Bali I Nengah Yasa Adi Susanto S.H.,M.H.,CHT., mengharapkan aparat kepolisian agar memilah-milah mana yang termasuk pungli dan mana yang bukan.

“Aparat penegak hukum jangan pukul rata semua pungutan tersebut dibilang pungli,” kata Adi Susanto yang juga caleg DPR RI dapil Bali nomor urut 1 dari PSI itu saat ditemui di Denpasar, Sabtu (10/11). Pria asli Desa Bugbug, Karangasem ini menambahkan pihaknya sangat mengapresiasi bila penangkapan terhadap oknum tersebut memang dikarenakan melanggar hukum. Namun bila petugas yang ditempatkan oleh Desa Adat melakukan pungutan berdasarkan Awig atau Pararem yang telah disepakati oleh masyarakat melalui Prajuru dan pimpinan Desa Adat dan sepanjang objek yang dipungut sumbangan tersebut adalah milik Desa Adat tentunya ini bukan merupakan pungli.

“Maka aparat penegak hukum tidak seharusnya menangkap mereka dan menjebloskan mereka ke sel,” tambah advokat di Kantor Hukum Widhi Sada Nugraha & Partners ini. Sesuai dengan Perda Nomor 3 Tahun 2003 tentang perubahan Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman khususnya Bab IV Pasal 10 terkait pendapatan Desa Pekraman tegas dinyatakan bahwa pungutan itu boleh dilakukan melalui sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat.

Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa pendapatan desa pekraman diperoleh dari (a) urunan karma desa pekramana, (b) hasil pengelolaan kekayaan desa pekramana, (c) hasil usaha Lembaga Perkreditan Desa (LPD), (d) bantuan pemerintah dan pemerintah daerah, (e) pendapatan lainnya yang sah, dan (f) sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat. “Jadi jelas sekali bahwa pungutan yang dilakukan sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) huruf (f) yang dilakukan oleh desa adat yang diatur melalui pararem adalah sah secara hukum adat dan tidak bisa dikatakan pungli, semua pihak harusnya juga menghormati keberadaan hukum adat. Apalagi hukum adat telah diatur dalam amandemen kedua UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 18 B,” tegas Adi.

Ia menegaskan pungutan yang dilakukan oleh desa adat sepanjang tidak berlebihan dan dana yang dikumpulkan dapat dipertanggungjawabkan adalah sah secara hukum adat dan tidak bisa dikatakan pungli. Bagaimana bisa dikatakan pungli, desa adat misalkan membangun sebuah destinasi pariwisata baru dan lahan atau tanah yang digunakan adalah milik desa adat sendiri. Kemudian desa adat membuat pararem yang intinya mewajibkan wisatawan yang mengunjungi objek wisata tersebut memberikan sumbangan. “Tentu saja ini bukan pungli. Lain halnya kalau fasilitas yang dipakai adalah milik Pemkab atau Pemprov kemudian desa adat memungut sumbangan sendiri tanpa bekerjasama dengan pihak pemerintah sendiri baru bisa dikatakan pungli,” tegasnya.

Ia berharap Gubernur Bali bersama para anggota DPRD Bali duduk bersama pihak Kejaksaan dan Kapolda untuk membahas masalah ini sehingga tidak ada ketakutan dari para bendesa adat yang selama ini melakukan pungutan berdasarkan pararem. Desa Adat atau desa pekraman harus dijaga eksistensinya di tengah derasnya pengaruh globalisasi. Bila desa adat atau desa pekraman tidak memiliki dana yang mencukupi untuk menjalankan roda keberlangsungan desa adat atau desa pekraman tersebut tentunya lambat laun eksistensi dari desa adat atau desa pekraman akan hilang dan ini akan menjadi sebuah petaka bagi generasi di masa yang akan datang.

“Pariwisata kita berbasiskan adat dan budaya dan bila adat dan budaya kita sudah punah maka jangan pernah berharap pariwisata kita akan dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun asing,” tutup Adi yang juga pemerhati pariwisata ini. (wbp)