HUT 21 Prodi Doktor Kajian Budaya: Menata Keilmuan dan Lembaga Masa Depan Kajian Budaya di Indonesia

(Baliekbis.com), Progran Studi Kajian Budaya Universitas Udayana telah berusia 21 tahun. Usia dua dekade ini menjadi sebuah momentum Kajian Budaya untuk melakukan refleksi, reorientasi dalam menata keilmuan dan lembaga Kajian Budaya. 

“Dua puluh tahun sebuah waktu yang panjang melakukan refleksi dan reorientasi arah lembaga Program Doktor Kajian Budaya memiliki kontekstualisasi sangat kuat,” kata Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana I Nyoman Aryawibawa, Ph.D dalam sambutannya membuka Seminar Reuni Program Studi (Prodi) Kajian Budaya dalam rangka HUT ke-21 yang jatuh pada 11 Juli 2021. Seminar berlangsung secara daring dan ditayangkan di kanal Youtube pada link ini: 

https://www.youtube.com/watch?v=SwAfhRL_VSo 

Aryawibawa menambahkan bahwa kebudayaan sesuatu yang dinamis. Kebudayaan yang kontekstual dan situasional. Ada peluang untuk menata arah kajian budaya dari sisi keilmuan. Ada proses kontruksi, dekonstruksi, dan reproduksi. Ini menjadi tantangan dan kesempatan mengembangkan lembaga dan keilmuan.  “Momentum ini sangat bagus pada saat Prodi Kajian Budaya berumur 21 tahun,” ujar Wakil Dekan 1 FIB Unud.

Prodi Pertama

Koprodi Program Doktor Kajian Budaya Prof. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., Ph.D mengatakan webinar masa depan Kajian Budaya dalam rangka memperingati 21 tahun hari lahir program studi doktor Kajian Budaya sebagai pertama di Indonesia yang dirintis oleh Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus membangun S2 dan S3 Kajian Budaya.

“Dua dekade melakukan refleksi kemana arah Kajian Budaya ke depan. Banyak kegalauan dihadapi adalah linieritas. Kajian Budaya menjadi guru besar tidak linier menghadapi masalah. Kritis kajian budaya jika disampaikan tidak tepat mendapatkan serangan balik katena tidak menghadirkan solusi. Tema HUT Kajian Budaya Kritis Berlapis, Jaya Berkarya memberikan sudut pandang baru ke depan,” kata Koprodi Program Doktor Kajian Budaya Prof. I Nyoman Darma Putra.

Seminar reuni Kajian Budaya menghadirkan pembicara Prof. Manneke Budiman, Ph.D dari Universitas Indonesia yang membawakan materi masa depan Kajian Budaya. Dengan moderator seminar yang digelar secara online adalah seorang alumni Program Doktor Kajian Budaya Dr. Tjok Istri Ratna C.S., S.Sn., M.Si. dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. 

Pendekatan Kritis

Dalam paparannya, Prof. Manneke Budiman menyampaikan bahwa Kajian Budaya identik dengan pendekatan kritis atas relasi antara kebudayaan dan kekuasaan yang dilandasi oleh dua tradisi pemikiran: marxis dan posmodernis. Pengaruh marxisme: kajian budaya sebagai teori sekaligus praksis resistensi terhadap hegemoni kapital, khususnya yang mewujud dalam kebudayaan yang belakangan menyempit pada kajian budaya popular.

“Pengaruh posmodernisme: kajian budaya mengarah pada destabilisasi kebenaran yang dibentuk oleh wacana dominan sebagai dasar bagi kerja kekuasaan,” ujar Prof. Manneke.

Gerakan kritis Kajian Budaya bukanlah untuk revolusi turun ke jalan, tetapi revolusi pemikiran sehingga relasi kuasa antara yang berkausa dan dikuasai bisa lebih berimbang. “Bukan hendak mengganti penguasa dengan yang baru, karena posmodernisme tidak percaya dan bermaksud mengganti kekuasaan,” cetus Manneke.

Membaca Gejala Masa Kini

Diperlukan kekritisan dan kepekaan dalam membaca gejala-gejala masa kini yang akan berkembang menjadi ancaman masa depan. 

Kajian Budaya bisa mengembangkan visi dan terobosan teoritis untuk bisa mengubah manusia baik pada tataran kesadaran maupun praktik dalam menghadapi ketidakpastian masa depan. 

“Kajian budaya tidak bisa terus-menerus berada pada tataran lokal yang spesifik sebab tantangan masa depan butuh kolaborasi dan aliansi global untuk menghadapinya. Kajian tataran lokal tidak memadai dilakukan hanya ada batas dirinya sendiri,” kata Manneke.

Ia menambahkan nexus global-lokal masih bisa dipakai sebagai kerangka kerja, untuk mencari tahu apa bentuk tantangan global yang muncul dan bagaimana ketangguhan komunitas pada tingkat lokal mampu mengantisipasi dan bertahan darinya. 

Fokus pada kajian pelestarian budaya lokal perlu bergeser ke upaya menemukan potensi resiliensi/ketangguhan baru yang berasal dari transformasi berbasis konvervasi atas apa yang telah dimiliki. 

Studi Kerentanan dan Ketangguhan

Untuk agenda ke depan, Kajian Budaya bisa mengarahkan kajiannya pada dua tantangan baru yaitu pada vulnerability studies (kajian kerentanan) yang telah dirintis oleh Judith Butler dkk, serta resilience studies (kajian ketangguhan) yang sudah dieksplorasi oleh Anna Tsing.

“Bila Kajian Budaya adalah metode bertanya dan mencari jawaban secara kritis atas realitas tempat permasalahan berpijak, ke depan Kajian Budaya perlu dipahami sebagai cara menggali dan menyintensiskan secara kritis potensi dan kemungkinan bagi suatu komunitas untuk membangun ketangguhan atau resiliensi demi keberlangsungan hidup komunitas itu di masa depan,” kata Manneke.

Webinar diikuti lebih dari 90 peserta terdiri atas dosen, mahasiswa, alumni, dan peserta umum, baik secara langsung lewat aplikasi webex maupun lewat Youtube.

(sumber: www.unud.ac.id)