Gunakan Debt Collector, Penarikan Kendaraan di Luar Prosedur Marak di Bali

(Baliekbis.com), Aksi penarikan kendaraan konsumen atau debitur yang dilakukan di luar prosedur oleh ‘debt ‘collector di Bali semakin meresahkan. Kalau dihitung-hitung banyak sekali pengaduan konsumen.
“Tiap bulan mencapai puluhan dan kebanyakan aksi penarikan tersebut diluar prosedur atau tidak mematuhi aturan hukum yang berlaku,” ujar  Direktur Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali, I Putu Armaya,S.H., Senin (23/7) di Denpasar.

Menurut Armaya pihak Leasing jika menggunakan jasa debt collector  sah-sah saja asalkan mematuhi aturan hukum. “Selama ini anggapan di masyarakat jika konsumen lalai tidak mampu bayar, maka konsumen dianggap bersalah karena cedera janji atau wan prestasi. Namun sangat jarang kita mengetahui jika pihak leasing juga melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukumnya adalah dalam tata penarikannya, yang tidak sesuai prosedur. Banyak kendaraan konsumen atau debitur di Bali ditarik paksa tidak menunjukkan Perjanjian Fidusia, langsung eksekusi, bahkan ada leasing melakukan penarikan kendaraan  dengan  menggunakan Fidusia palsu,” jelasnya.
Padahal menurut Armaya, sejak 2012, Kementerian Keuangan telah menerbitkankan peraturan yang melarang leasing untuk menarik secara paksa kendaraan dari nasabah yang menunggak pembayaran kredit kendaraan (Peraturan Menteri Keuangan No.130/PMK.010/2012). Tindakan leasing melalui debt collector yang mengambil secara paksa kendaraan berikut STNK dan kunci motor, dapat dikenai ancaman pidana. Tindakan tersebut termasuk kategori perampasan sebagaimana diatur dalam pasal 368 KUHP atau pasal pencurian 365 KUHP.

Selain itu, tindakan tersebut termasuk pelanggaran sebagai konsumen (Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). “Sebenarnya saya tidak semata mata menyalahkan tindakan debt collector namun lebih menyalahkan tindakan leasing yang memberikan perintah untuk menarik paksa kendaraan konsumen, yang akhirnya menyalahi aturan hukum,” ujar Armaya sengit. Dikatakan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sebenarnya  memberikan jaminan kepada debitur dan kreditur (leasing) dalam proses eksekusi atau penarikan kendaraan yang mengalami kredit macet. Tanpa adanya sertifikat fidusia, debt collector tidak boleh melakukan eksekusi di jalan karena berpotensi menimbulkan pidana. “UU Jaminan Fidusia ini memberikan kepastian hukum kepada debitur dan kreditur, sehingga dengan adanya sertifikat jaminan fidusia ini, baik penerima fidusia maupun pemberi fidusia/pemilik unit, dapat terlindungi masing masing haknya,” terang Armaya yang juga  Pengurus Nasional Perhimpunan Advokat Perlindungan Konsumen Indonesia.  Perlu diketahui bahwa Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan sebuah benda bergerak yang hak kepemilikannya masih dalam kekuasaan pemilik benda tersebut. Misalnya, seseorang yang mengkredit motor, motor tersebut milik perusahaan leasing akan tetapi hak miliknya dialihkan kepada debitur atau konsumen.

Dalam pelaksanaan eksekusi ini, perusahaan leasing harus melengkapi diri dengan sertifikat jaminan fidusia setelah menempuh upaya somasi terhadap debitur terlebih dahulu. Dalam proses pelaksanaannya, pihak leasing dapat menunjuk atau bekerja sama dengan pihak ketiga (debt collector/tenaga jasa penagihan) untuk melakukan eksekusi (penarikan barang) dengan santun dan beretika dan tidak merugikan konsumen. Dan pemberi fidusia/pemegang kendaraan wajib menyerahkannya. Dengan adanya jaminan fidusia ini, diharapkan ke depan tidak ada lagi eksekusi di tempat. Dalam UU Jaminan Fidusia ini, diatur mekanisme dalam proses eksekusi (penarikan) benda bergerak dari debitur. Debt collector tidak berhak mengeksekusi benda jika tidak dilengkapi dengan sertifikat jaminan fidusia. Konsumen atau debitur menurut Armaya sebenarnya bisa menanyakan kepada tenaga jasa penagih (debt collector) tentang sertifikat jaminan fidusia. Kalau tidak ada, tenaga jasa penagih tidak bisa melakukan eksekusi, Sebaliknya, dalam proses eksekusi ini, tenaga jasa penagih bisa menyarankan untuk penyelesaian di kantor perusahaan leasing. Debitur bisa mendapatkan restrukturisasi apabila merasa keberatan dengan cicilan kredit bukan penarikan paksa kendaraan dengan melanggar prosedur. Ke depan tambah Armaya, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Bali yang memiliki kewenangan dalam pengawasan Industri keuangan non Bank, perusahaan pembiayaan/Leasing juga harus turut campur dalam persoalan ini. Di Bali  banyak perusahaan  Leasing melanggar aturan dalam tata cara penarikan kendaraan konsumen. “Mestinya OJK berhak memberikan edukasi dan pembinaan kepada perusahaan leasing di Bali, kalau tidak akan semakin banyak terjadi pelanggaran, dan konsumen yang akan dirugikan,” tegas Armaya. (ist)