Gema Perdamaian, Ekspresi Damai dari Bali untuk Dunia

(Baliekbis.com), Kedamaian adalah kebutuhan mutlak setiap manusia. Naluri setiap manusia yang normal pasti ingin hidup selalu dalam keadaan damai, tenteram, nyaman, aman dan jauh dari kekerasan.  Namun demikian, tidak semua manusia menyadari nalurinya. Sekelompok manusia cenderung ingin meniadakan yang lain.

Sekelompok manusia, sadar atau tidak, seringkali dan suka mengumbar kebencian dan melakukan kekerasan terhadap sesama manusia. Ini memang sikap dan perilaku primitif, tetapi toh masih sering kita temukan di jaman digital yang  serba canggih ini. Gerakan sekelompok anak bangsa di Bali untuk menggemakan rasa damai yang kemudian dikenal dengan Gema Perdamaian (disingkat GP) tak terasa kini sudah memasuki usia 15 tahun. “Gerakan ini bermula dari suasana keprihatinan paska teror Bom yang mengguncang dan memporakporandakan Bali pada 2002 lampau. Sekelompok anak bangsa yang peduli Bali berkumpul guna merajut kembali rasa damai yang sempat terkoyak oleh ulah segelintir manusia biadab yang tak berperikemanusiaan menyebarkan teror yang berujung pada tragedi kemanusiaan Bom Bali,” ujar Nyoman Merta Harnaga, Humas Gema Perdamaian, Jumat (8/9).

.Mereka (para perintis GP) lalu berkumpul guna merumuskan sebuah gerakan untuk membangkitkan naluri kemanusiaan akan betapa pentingnya rasa damai. Mereka berprinsip bahwa semua insan harus disadarkan bahwa semua pihak harus mengupayakan damai karena damai adalah panggung bagi perhelatan peradaban dan budaya. Tanpa rasa damai dan suasana damai maka peradaban akan tak akan maju atau terkebelakang. Kata damai harus menjadi prioritas yg mengemuka pada pikiran semua insan atau damai menjadi top of mind dari hal-hal lainnya. Gerakan ini dikampanyekan dengan slogan; Damai itu Indah, Damai itu Upaya.

Kehidupan terasa sesak dengan tiadanya rasa damai. Dimana-mana dunia diwarnai oleh  pertentangan, perpecahan, kebencian, perkelahian. Ini terjadi di hampir semua lini atau segmen kehidupan bermasyarakat, terlebih peperangan juga masih dianggap sebagai langkah yang cepat, praktis serta merta mudah diputuskan. Demokratisasi yang kita harapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat namun saat ini masih berada pada tataran euphoria dan yang mengemuka justru perseteruan yang tiada habisnya antar kelompok masyarakat.

Peradaban dunia saat ini berjalan didominasi oleh ego yang dibenarkan oleh arogansi rasionalitas dalam segala wujudnya. Manakala kita hening dan berusaha mendamaikan diri, hati nurani dengan halus dan penuh kasih membisikkan bahwa bukan ini yang sebenarnya yang ingin kita ciptakan dan yang ingin kita cari. Peradaban yang tanpa damai akan percuma. Damai adalah dasar yang paling mendasar. Dengan damai hidup lebih bermanfaat dan hidup terasa lebih indah. Rasa damai adalah keadaan dan keberadaan di hati nurani kita. Kita semua ingin damai, hal ini perlu diingatkan bersama untuk kita wujudkan bersama dalam kehidupan kita sehari-hari. Itulah yang melatarbelakangi kenapa diperlukan gerakan Gema Perdamaian terus menerus.

Akhirnya disepakati GP digelar pertama kali pada Oktober 2003. Gerakan ini adalah upaya edukasi dan penyadaran bahwa kita bersaudara. Bahwa perbedaan adalah fakta hidup namun hakikatnya satu sebagaimana motto ideologi Pancasila yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Sebagai jawabannya bahwa damai itu perlu upaya, maka dilakukan berbagai aktivitas damai. Lalu dibuatlah acara yang dapat mengakomodasi rasa tersebut dan mampu menggaungkan perdamaian, mampu membangun mindset  damai yang kokoh di masyarakat. Acara ini dikemas secara alamiah dan menghormati perbedaan (keberagaman). Mereka lalu bersama-sama berikthiar dan berdoa memohon agar kedamaian senantiasa ada di dalam hati, sikap  dan perilaku.

Namun demikian, GP sama sekali bukan digelar untuk memperingati tragedi Bom Bali. Acara GP diikrarkan untuk menjadi acara tetap tahunan yan menjadi hari pengingat, menjadi tonggak penyegar upaya perdamaian yang dirindukan semua pihak. GP diharapkan menjadi “Hari Raya” kita bersama. GP ini menjadi milik masyarakat Bali untuk terus ditumbuhkembangkan.  Acara ini diselenggarakan secara bergilir di antara kelompok – kelompok agama, Sampradaya maupun kelompok kepercayaan sesuai kesediaan yang tulus dan ikhlas serta dianggap mampu dan netral (non partisan).

Penjamin atau pengempon acara ini adalah para inisiator GP dan pendukung-pendukung pokok (Stakeholder) lainnya di antaranya Pemerintah Provinsi Bali, Pemkot Denpasar, Pemkab Badung,  FKUB, PHDI, Paiketan Krama Bali,Perkumpulan Pasraman Indonesia, Komunitas Parasparos, Forum Studi Majapahit, World Hindu Parisad, Yayasan Eling Nusantara, Forum Silahturahmi Keraton Nusantara,Gong Perdamaian, Veda Poshana Ashram, Pinandita Sanggaraha Nusantara, Yayasan Iscon Sakkhi, Paguyuban Etnis Nusantara, Yayasan Pancer Langiit,  MUI Bali, Yayasan Sapta Dharma,GIPPI Bali,PHRI Bali dan IHGMA (Indonesian Hotel General Manager Association) serta seluruh Sampradaya yang ada di Bali. (ist)