Gara-gara Tanah, Sebelas KK Desa Adat Tanjung Benoa “Kasepekang”

(Baliekbis.com), Nasib naas menimpa 11 KK (65 jiwa) warga Desa Adat Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Gara-gara menggugat tanah garapan ke pengadilan, mereka dikeluarkan dari adat (kasepekang).

“Kami bingung dimana kesalahannya sehingga dikeluarkan dari adat. Padahal kami melayangkan gugatan perdata tanah garapan leluhur kami,” jelas Wayan Sutaya mewakili keluarga, Jumat (21/12) saat ditemui di rumahnya, Banjar Purwasanti, Tanjung Benoa.

Ia mempertanyakan kasepekang yang menimpa keluarganya itu. Pasalnya sebelum kasus tanah itu masuk ke meja hijau, antara pihaknya dengan adat sudah sempat membahasnya namun menemui jalan buntu. Sehingga disarankan menempuh jalur hukum. Akibat kasepekang, puluhan warga ini selain tak bisa mendapatkan fasilitas adat juga mereka juga sulit berkomunikasi dengan warga lainnya. “Saat menggelar upacara mecaru dan potong gigi, kami tak diizinkan mendapatkan air suci,” jelasnya. Sutaya juga mengaku sampai saat ini pihaknya belum mendapatkan kepastian soal kasepekang itu. “Justru surat kasepekang didapat dari tetangga,” jelasnya seraya memperlihatkan surat tersebut.

Putusan kasepekang ini tertuang dalam Peraturan Pemutus Wicara Paruman Agung Krama Desa Adat Tanjung Benoa tentang Pengenaan Sanksi Adat kepada Keluarga I Nyoman Darna, Nomor: 01/SA/PDA-TB/XI/2018 tertanggal 18 November 2018. Hasil paruman ini ditandatangani Bendesa Adat Tanjung Benoa dr. I Made Sugianta bersama prajuru adat lainnya. Isi surat kasepekang itu antara lain, Desa Adat Tanjung Benoa tidak memberikan pelayanan serta menghentikan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan peradatan. Desa Adat Tanjung Benoa tidak memberikan izin bagi I Nyoman Darna sekeluarga untuk mendapatkan dan menggunakan fasilitas milik desa adat.

Kasus kasepekang ini bermula ketika keluarga I Nyoman Darna mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Denpasar atas dua objek tanah negara yang sejak puluhan tahun digarap namun belakangan disertifikatkan oleh Desa Adat Tanjung Benoa. Tanah tersebut yakni Sertifikat Hak Milik (SHM) No.406 atas nama Pura Segara Desa Adat Tanjung Benoa seluas 1.227 m2 dan SHM No.80 atas nama Pura Penataran Desa Adat Tanjung Benoa seluas 1.669 m2.

Padahal menurut I Wayan Sutaya selaku adik I Nyoman Darna, tanah tersebut awalnya merupakan tanah milik Provinsi Bali yang diberikan hak untuk mengelola bidang tanah Dana Bukti /Tanah Negara Persil 54 klas II dengan luas 1,490 Ha per 1 Januari 1972 kepada orang tua I Wayan Darna yang juga sudah menggarap tanah tersebut sebelum keluarnya surat Keputusan (SK) Gubernur Bali.

Kemudian diturunkan hak menggarap, mengelola dan membayar pajak tanah ini hingga tahun 1989 kepada I Nyoman Darna. Akhirnya sampai terbit Buku Dasar Tanah Dana Bukti No. 185 dengan persil 54 klas IIA Banjar Tanjung Benoa tanggal 1 Juni 1979 dengan letak tanah di Desa Tanjung Benoa yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria Provinsi Bali.

“Dalam perjalanannya ada pengambilalihan tanah tersebut dan tahu-tahu sebagian sudah disertifikatkan pada tahun 2011 oleh Desa Adat Tanjung Benoa,” terang Sutaya. Pihaknya mengaku menghormati proses hukum yang berjalan. “Kalau gugatan kami ditolak dan tanah itu dinyatakan milik desa adat kami akan terima dan hormati. Kami hanya menanyakan dan meminta kepastian tentang hak kami,” imbuh Sutaya.

Pihaknya juga heran dikatakan melakukan pelanggaran adat dan melawan desa adat. “Kami tidak pernah melawan desa dan tidak berani. Juga sama sekali tidak ada niat melawan desa adat,” kata Sutanaya, adik Nyoman Darna. Sementara Bendesa Adat Tanjung Benoa belum berhasil dikonfirmasi atas masalah tersebut. (bas)