Evaluasi Bali, Mungkinkah Menuju Bali Baru?

Bali baru ialah pilihan sikap yang berpijak pada entitas Bali namun dengan perspektif baru. Artinya, pilihan membawa Bali ke masa depan lebih awas secara intelektual, memeriksa segala kemungkinan yang datang ke Bali dan membangun soliditas masyarakat Bali lebih smart, lebih menguatkan dan memberdayakan segala potensi sumber daya masyarakat Bali.

(Baliekbis.com), Sebagaimana segala sesuatu yang berubah atau akan berubah, Bali juga termasuk di dalamnya. Kesadaran ini menempatkan kita pada satu kesadaran; yang bisa dipertahankan maka dipertahankan! Perubahan ialah niscaya, tapi kita bisa memilih ke arah yang perubahan yang lebih baik. Pilihannya hanya di situ; menjadi buruk atau sebaliknya. Inilah yang dihadapkan Bali mulai dari hari ini hingga ke depan.

Mengapa Bali harus menyikapi dirinya dari waktu ke waktu? Apakah ini semacam ‘pemujaan’ yang berlebih atas kecongkakan kultural yang karenanya merasa diri paling agung, baik dan istimewa? Jika kita mau arif—dan sesungguhnya begitu banyak kearifan yang diwarisi leluhur Bali—maka akan kita temui mengapa manusia Bali harus mempertahan dirinya dari gempuran-gempuran nilai tanpa harus kehilangan diri, tanpa harus nyapa kadi aku (arogan), tanpa keinginan untuk diistimewakan.

Bali adalah sebuah sejarah yang panjang. Sebagai sebuah perjalanan, ia lekat dengan perubahan-perubahan. Sejumlah abad dalam perjalanan Bali dengan karakteristik pengusungnya memperlihatkan, ada yang begitu kuat dipertahankan hingga hari ini, ialah apa yang disebut tradisi dan keteguhan berpegang kepada filosofi leluhur. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa adalah suatu keajaiban ketika masyarakat Bali sanggup mempertahankan warisan nilai yang terbungkus dalam tradisi komunal.

Dalam sejumlah perjalanan sejarah, kita tahu ada suku-suku yang begitu kuat tradisi dan budayanya, pada akhirnya lenyap sama sekali, atau tersisa menjadi serpihan-serpihan komunitas yang tak lagi bisa mengembangkan budaya dan local genius-nya. Suku Inca, Astec, Maya, untuk menyebut suku-suku yang kini hanya tersimpan dalam ingatan sejarah, adalah bukti bahwa zaman bisa ‘menelan hidup-hidup’ suatu budaya dunia.

Dalam sejarahnya, Bali telah mendapatkan segala kejayaan sekaligus juga kekelaman paling pilu; memiliki sesuatu yang begitu berharga namun sepenuhnya orang lain yang yang menikmati; menjadi para petangguh, kreator, namun pada saat yang sama juga tak lebih dari pelayan, papa dan jelata. Sebuah sejarah yang begitu lengkap dan kaya akan pergolakan kepahitan, air mata dan meregang nyawa di tengah konflik politik, kekuasaan dan kenaifan.

Sesungguhnyalah Bali sangat pantas memikirkan dirinya kembali di tengah perubahan-perubahan yang terjadi setiap hari. Bali saat ini bukan lagi sekadar straggle for survival, tetapi melampui elan vital itu. ia begitu banyak membawa muatan kultural yang tak mungkin dibuang, dilupakan dan diabaikan karena semua itu begitu berharganya. Bali ialah gambaran lengkap atas apa yang disebut sebagai gambaran kebudayaan. Ada pikir, karsa, karya dan moralitas yang tersimpan lama di dalam diri Bali.

Inilah risiko Bali yang telah lama membuka diri. Namun di situlah letak sifat alami masyarakat Bali, menyeleksi dan mengakulturasi  secara alamiah segala yang datang ke dalam dirinya. Hanya, karena begitu naifnya, orang-orang Bali, dalam sejarahnya, harus menerima dengan pilu kekelaman atas penerimaan itu. Perbudakan, kolonialisme dan konflik politik yang menelan ribuan nyawa adalah gambaran dari risiko perjalanan dan perubahan dan keterbukaan diri.

Tugas berat orang Bali adalah menjaga diri dan segenap kekayaan kultural dan eksistensinya. Juga, tanggung jawab lingkungan, yaitu menjaga Pulau Bali itu sendiri. Karena dalam pergaulan internasional, Bali adalah bagian dari ‘warisan dunia’ di mana lembaga-lembaga internasional telah menetapkan Bali sebagai bagian dari ‘milik dunia’.

Tantangan, tugas dan tanggung jawab orang Bali sebagaimana disebutkan di atas, tentulah tidak mudah. Mereka menghadapi tantangan dari luar dan dari dalam sendiri. Dari luar ialah serbuan investasi, nilai-nilai baru dan orang-orang yang datang ke Bali dengan berbagai kepentingan. Multikulturalisme akan terbangun di satu pihak, benturan nilai akan terjadi di pihak lain. Sementara investasi besar-besaran akan tiada hentinya ditanam di Bali mengingat Bali begitu prospektif, kondusif dan relatif aman.

Fakta itu sebetulnya sudah lama terjadi di Bali, Terutama di tengah pemerintahan Orde Baru. Para pendatang dari berbagai wilayah Nusantara telah lama ada di Bali dan kebanyakan mereka memainkan perekonomian di wilayah sektor riil; sementara para ekspatriat—meski tak sebanyak sekarang—sudah pula menjadi bagian pemandangan yang lumrah. mereka mengambil pemukiman di wilayah-wilayah destinasi wisata seperti Sanur, Ubud, Kuta dan sekitarnya. Kekuasaan dan kekuatan Orde Baru secara tak langsung menjamin keamanan di Bali, sebagian karena alasan investasi kroni-kroni Orba ada di sini.

Di lain pihak, tantangan dari luar adalah investasi yang setiap waktu akan mendera-dera Bali. ini sejalan dengan pencanangan dan program pemerintah yang menarik investasi sebanyak-banyaknya dan selain itu, memberi mereka kemudahan dalam beberapa hal, terutama tentang perizinan dan keringanan pajak. Sebagian dari pilihan penanaman investasi itu tentulah Bali di antaranya. Tak bisa ditampik bahwa Bali harus menerima kebijakan itu, dan secara tak langsung mau pun langsung, Bali juga memerlukan investasi. Namun hal itu bukan tanpa risiko.

Investasi baru dari luar yang ditanam di Bali dengan wujud tak jauh dari kepentingan turistik pada akhirnya akan membawa persoalan lingkungan. Setidaknya tak jauh dari persoalan lahan. Alih fungsi lahan akan terjadi terus-menerus, orang Bali akan menjual tanahnya (dan menjadi godaan yang berat bagi mereka!) karena ditawar dengan harga yang sangat tinggi. Dampak berikutnya mudah ditebak; sawah makin berkurang, bangunan-bangunan yang bertalian dengan pemukiman dan turisme akan menjalar di seluruh pelosok Bali.

Ancaman dan tantangan—dari dalam dan luar Bali—akan mendera secara evolutif. Lebih fatal kemudian ialah kelengahan orang Bali yang termanja dan terlena oleh kesejahteraan yang didatangkan dari dunia turisme. Kepekaan dan tingkat kritis memahami dampak dari semua itu tak akan dapat dirasakan mengingat kelengahan dan kemanjaan yang didapatkan. Lebih kemudian orang-orang Bali pada umumnya lebih permisif menerima kehadiran turis asing dalam kapasitasnya sebagai ekspatriat maupun sekadar turis pelancong.

Disadari atau tidak, turisme kini sesungguhnya telah memperlihatkan gejala-gejala yang tak menyamankan. Tindak kriminal kini sudah mulai dilakukan oleh turis asing, banyaknya masalah bagi pihak aparat terhadap fenomena turis asing yang menjadi gembel di Bali, bahkan baru-baru ini warta media mengabarkan ada satu turis yang makan tak mau bayar! Orang Bali harus membangun kesadaran baru bahwa orang asing yang datang ke Bali tak selalu kini dalam kapasitas pelancong. Bukan tak mungkin mereka di sini datang untuk mencari nafkah!

Bali harus mulai menentukan sikapnya, lebih cepat lebih baik. Karena dampak dari semua hal yang terjadi di Bali telah memperlihatkan hasilnya. Bali harus menentukan tujuan masa depannya menjadi Bali baru, suatu perencanaan yang matang untuk mengantisipasi lebih tanggap terhadap tantangan, ancaman dan peluang yang ada di Bali. bali membutuhkan semua pengusungnya di segala lini untuk menuju tujuan bersama; menjaga Bali menjadi lebih berjaya!

Bali baru ialah pilihan sikap yang berpijak pada entitas Bali namun dengan perspektif baru. Artinya, pilihan membawa Bali ke masa depan lebih awas secara intelektual, memeriksa segala kemungkinan yang datang ke Bali dan membangun soliditas masyarakat Bali lebih smart, lebih menguatkan dan memberdayakan segala potensi sumber daya masyarakat Bali. Tak ada yang lebih penting mulai hari  ini adalah menyelamatkan Bali, menyelamatkan budaya dan potensi para pengusungnya. Dengan bekalkenyataan bahwa sebagian orang Bali telah menggenggam kesejahteraannya, maka kinilah saatnya dibangun perspektif baru tentang masa depan Bali menuju Bali baru yang lebih cemerlang.

Bali baru tentu tak bermaksud mengubah jati diri, entitas dan kultur warisan. Justru kekayaan-kekayaan inilah yang menjadi bekal utama bagi orang Bali dalam menuju Bali baru itu. Inti dari cita-cita ini adalah hanya terletak pada keinginan untuk lebih memberdayakan orang Bali itu sendiri, awas terhadap segala kemungkinan dampak dari suatu nilai-nilai yang datang dari luar.  Bali baru adalah terbangunnya kesadaran untuk tak lagi ‘menjual’ Bali semena-mena. Dengan terbangunnya kesadaran moral, intelektual dan kultural bagi orang Bali, maka Bali sedikit banyaknya akan terselamatkan.

Betapa banyaknya potensi kultural dan edukasi yang tertanam dalam nilai-nilai yang diwariskan leluhur orang Bali, dan itu masih tertanam kuat baik itu dalam cerita-cerita rakyat, lontar, prasasti, sejarah maupun dalam kreasi-kreasi yang genial orang Bali itu sendiri. Inilah hal kuat yang menjadi harapan orang Bali menuju Bali baru. Kita lihat misalnya, Jepang telah menjadi satu dari negara yang diperhitungkan modernitasnya, namun tradisi dan kearifan lokalnya masih terjaga dengan baik hingga kini. Karena bagaimana pun, tradisi adalah jati diri, entitas yang spesifik dari keberanian untuk menjadi diri-sendiri.

Sekali lagi, sinergi pemerintah daerah dan masyarakat adalah syarat mutlak untuk mewujudkan rencana menuju Bali baru, bahu-membahu sesuai peran dan kapasitasnya. Dan kebijakan-kebijakan Gubernur Bali I Wayan Koster kini telah terlihat bibit-bibit penguatan potensi budaya Bali, jati diri yang dengan cemerlang mulai dikedepankan. Sementara masyarakat adat juga mulai berbenah, menata wewenang dan program-program desanya dan menyadari arti penting potensi masyarakat adat. Karena itu, mari membangun Bali baru dengan semangat kejatidirian sebagai orang Bali dengan semangat kearifan leluhur, satu di antaranya saya kutip dari pengawi agung Bali, Ida Pendanda Made Sidemen, sebagai penutup tulisan ini; nandurin karang awak: menjadikan diri sendiri sebagfai sumber kehidupan! (putu suasta)