Dr. Tini Gorda: Wanita Bali Juga Berhak Mendapatkan Waris

(Baliekbis.com),Masalah waris bukan hanya monopoli kaum lelaki (purusa). Wanita Bali dalam tradisi Hindu juga berhak atas waris sepanjang masih tinggal di rumah.

“Kalau wanita Bali belum menikah dan ia tinggal di rumah orangtuanya, maka ia berhak menikmati apa yang ada,” jelas Dr. A.A. Tini Rusmini Gorda,SH,MM,MH dalam diskusi ” Ngobrolin Hukum” yang digelar Sabtu (14/9/2019) di halaman Undiknas University.

Diskusi dengan tema “Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Bali dari Berbagai Perspektif’
digelar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali bekerja sama Milenial’s Es Kopi ini membahas mengenai isu-isu hukum dan sosial yang tengah hangat diperbincangkan oleh masyarakat. Juga persoalan mengenai hak ulayat atas tanah dan isu diskriminasi gender terhadap perempuan di Bali.

Dr. Tini Gorda yang juga dosen di Undiknas University ini menambahkan
peran perempuan sangat penting meski sudah menikah (keluar). Sebab posisinya menentukan kelangsungan generasi. Tak mungkin bisa berkembang (keturunan) tanpa perempuan. “Mereka (laki-laki) tak bisa jalan sendiri-sendiri, harus bersama-sama (perempuan),” jelasnya.

Masih terkait waris ini, ditambahkan Tini Gorda, perempuan juga berhak atas harta bersama (gono gini). Ke depan peningkatan SDM dinilai sangat penting sehingga bisa memahami aturan yang ada secara jelas.

Diskusi yang dipandu Pasek Pramana dari Fakultas Hukum Unud menghadirkan empat pemateri yakni Siti Rakhma Mary (YLBHI), Prof. Dr. I Nyoman Budiana, Dr. A.A. Ari Atu Dewi dan Dr. Tini Rusmini Gorda berlangsung cukup hangat.

Para peserta diskusi yang hadir juga dari beragam latar belakang, baik praktisi hukum, akademisi, mahasiswa, Majelis Desa Adat, dan masyarakat umum.
Banyak pertanyaan dan saran dikemukakan oleh peserta diskusi kepada keempat pemateri, di antaranya pengelolaan hutan adat, hak waris bagi perempuan di Bali, dan problematika hukum seputar Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Juga muncul pertanyaan terkait kasus waris dan pungutan liar.

Dari diakusi ini secara garis besarnya terungkap adanya intervensi terhadap eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat yang terlalu kuat, sehingga menciderai otonomi asli dari kesatuan masyarakat itu sendiri. Juga terjadi tafsir yang salah terhadap makna ‘purusa’ yang berimplikasi pada dianutnya ideologi patriarki oleh masyarakat Bali. Kesetaraan gender tidak diartikan sama rata, namun lebih pada nuansa harmoni yang berpedoman pada nilai kepatutan.(bas)