Diskusi RTRW, Bali Hadapi Ancaman Kekurangan Air Baku

(Baliekbis.com), Bali ke depan akan menghadapi ancaman kekurangan air baku yang bisa berdampak pada kebutuhan untuk air minum dan irigasi. Sementara banyak air yang terbuang percuma ke laut.

Demikian diungkapkan Made Arca Eriawan dari KAP (Kelompok Ahli Pembangunan) Bali dalam diskusi “Membedah Revisi RTRW Bali dari Perspektif Pelestarian Lingkungan” yang digelar di Kantor Kompas Jalan Jayagiri Denpasar, Jumat (22/2) sore.

Diskusi yang digelar Komunitas Jurnalis Lingkungan (SIEJ) Bali juga menghadirkan nara sumber Made Iwan Dewantama (CI Bali) dan Dr. Hendrawan (FKP Unud). Sedangkan Ketut Kariyasa Adnyana (Ketua Pansus RTRW DPRD Bali) tak bisa hadir.

Arca yang banyak berbicara tentang  Tata Ruang Bali mengatakan konsep filosofis tak bisa diterapkan dalam tataran praktis. Untuk itu harus ada peluwesan-peluwesan dalam implementasinya di lapangan. Dikatakan banyak problem yang dihadapi Bali ke depannya. Di antaranya luas Bali yang terus berkurang, tingginya penyusutan lahan pertanian, terjadinya ketimpangan pengembangan Bali selatan, utara, timur dan barat. 

Juga ketergantungan Bali yang begitu besar terhadap pariwisata dan belum meratanya harga barang. “Misalnya harga bahan bangunan seperti semen di Nusa Penida sangat tinggi akibat belum lancarnya kapal penyeberangan. Barang harus diangkut manusia menuju kapal sehingga  menambah cost,” jelas Arca.

Dari sisi lingkungan, ia memaparkan proporsi hutan baru mencapai 23 persen dari target keseimbangan 30 persen, alih fungsi lahan yang mencapai 661 hektar/tahun serta tingginya abrasi dan ancaman sampah. Meningkatnya jumlah penduduk juga menjadi masalah karena ke depannya butuh perluasan permukiman. 

Bahkan belakangan mencuat adanya permintaan perubahan tinggi bangunan yang tidak terlepas akibat mahalnya harga lahan. “Migrasi penduduk ke Bali juga tinggi dan penduduk yang makin heterogen,” tambahnya. Mengacu kondisi yang ada, terkait revisi RTRW, menurutnya kalau memang diperlukan bisa dilakukan perubahan. “Aturannya tiap 5 tahun bisa dirubah. Tapi kalau masih bisa dipakai gak perlu dirubah,” jelasnya. 

Sementara Made Iwan Dewantama dari konservasi  internasional mengatakan saat ini tata ruang bermasalah karena banyaknya pelanggaran. Bahkan lingkungan tambah rusak. “Padahal kita hidup dari lingkungan,” ujarnya mengingatkan. 

Dr. Gede Hendrawan dari Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Unud menyoroti kondisi mangrove. Ia mengingatkan keberadaan mangrove sangat vital dalam kaitan dengan pariwisata. “Kalau laut tak dijaga maka akan terjadi bencana. Jadi RTRW bukan hanya menyangkut ekonomi tapi keberlanjutan alam Bali,” pesannya. (bas)