Dirjen Bimas Hindu: Pemikiran IGB Sugriwa Sangat Relevan di Era Revolusi Industri 4.0

(Baliekbis.com),Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama Prof. Drs. Ketut Widnya, MA, M.Phil.,Ph.D. mengatakan pemikiran-pemikiran IGB Sugriwa masih sangat relevan untuk direalisasikan dalam era Revolusi Industri 4.0.

“Penting kita warisi dan bagikan kepada generasi milenial khususnya terkait agama Hindu, salah satunya mengajarkan agar jangan sampai kita kehilangan ke-Baliannya,” ucap Prof. Widnya saat membuka seminar bertajuk “I Gusti Bagus Sugriwa dalam Lintasan Sejarah Pembangunan Negara dan Agama Hindu” di Kampus ISI Denpasar, Jumat (25/10/2019).

Prof. Widnya menambahkan IGB Sugriwa bukan saja sosok pendidik, tetapi sekaligus politikus, seniman, budayawan dan tokoh agama. “Sebagai seniman, Beliau sangat fasih menembangkan kidung dan kekawin,” jelasnya.

Seminar yang dihadiri sejumlah tokoh agama dan budaya ini “membedah” pemikiran-pemikiran dan kiprah almarhum I Gusti Bagus Sugriwa yang merupakan sosok perintis pembaharuan Agama Hindu.

Tampil sebagai pembicara yakni Ida Padanda Gede Putra Yoga (mantan murid almarhum), Ida Padanda Gede Wayahan Wanasari (mantan pengurus Yayasan Dwijendra), Prof. Dr. I Made Bandem (tokoh seni budaya), Drs. Ida Bagus Putu Suamba,MA,PhD (pemerhati Siwa Budha), Ida Wayan Oka Granoka (mantan murid almarhum), I Nyoman Rema,SS, MPhil.H (penulis tesus mengenai IGB Sugriwa), dan Putu Eka Guna Yasa,SS,MHum. (akademisi).

“Melalui kegiatan seminar ini kami ingin menggugah semangat generasi muda untuk lebih menguatkan pemahaman tentang agama, tradisi, adat, seni dan budaya Bali untuk menghadapi tantangan era global,” kata Ketua Dewan Pembina Yayasan I Gusti Bagus Sugriwa, Ida Rsi Agung Wayabya Suprabhu Sogata Karang.

IGB Sugriwa juga dipandang sebagai cendekiawan Bali karena telah merumuskan banyak hal tentang Agama Hindu di Bali. IGB Sugriwa juga sangat intens memperjuangkan agar Agama Hindu Bali diakui negara.

“Berkat kedekatannya dengan Bung Karno dan perjuangannya bersama teman-teman berdiskusi dengan Menteri Agama kala itu, sehingga akhirnya pada 5 September 1958 terbitlah Surat Keputusan Menteri Agama RI yang mengakui keberadaan Agama Hindu Bali,” ucap Ida Rsi Agung, salah satu putra dari IGB Sugriwa.

Sebagai cendekiawan, IGB Sugriwa juga banyak dilibatkan dalam pendirian berbagai lembaga pendidikan di antaranya Yayasan Dwijendra, STAHN yang kini bernama Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Kokar Bali kemudian ASTI yang kini menjadi ISI Denpasar, IHD atau yang kini dikenal Unhi Denpasar.

IGB Sugriwa yang telah berpulang pada 22 November 1977 (dalam usia 77 tahun) juga menjadi salah satu penyusun Puja Tri Sandhya bersama beberapa tokoh lainnya dan sekaligus menjadi salah satu sosok pendiri Parisada Dharma Hindu Bali yang sekarang menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI).

Di bidang pemerintahan, dan organisasi IGB Sugriwa pernah menjabat anggota Dewan Pemerintah Daerah (DPD) Bali bidang agama, kebudayaan, kehakiman, keuangan, pertanahan dan balai kemasyarakatan, anggota Dewan Nasional, anggota DPA, Front Nasional dan Kwarnas Pramuka.

“Dari berbagai pemikiran Beliau, setidaknya ada tiga harapan utamanya, pertama corak Agama Hindu yang ada di Bali tetap seperti yang diwariskan para leluhur karena terbukti sudah teruji oleh zaman berabad-abad lamanya. Tinggal memoles di sana-sini disesuaikan dengan perkembangan zaman, namun doktrin dasarnya jangan sampai terkikis,” ucapnya.

Harapan yang kedua agar ada poros yang ketat antara agama dengan seni budaya Bali yang merupakan bunga penghias agama itu sendiri. Terakhir, adanya pengajaran bahasa dan huruf Bali sebagai dasar ke-Balian harus dilakukan dengan mapan, sebagai bekal generasi berikutnya mempelajari khasanah warisan leluhur yang adiluhung.

Sementara Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan ISI Denpasar Dr. Drs. I Gusti Ngurah Seramasara melihat IGB Sugriwa sebagai pejuang Hindu yang luar biasa karena berjuang menghadapi berbagai tekanan tokoh agama lainnya saat itu untuk menembus agar Agama Hindu dapat diakui negara.

Prof. Dr. I Made Bandem mengatakan IGB Sugriwa sebagai cendekiawan Bali patut diberi gelar Mpu Ageng Kebudayaan Bali. IGB Sugriwa semasa hidupnya merupakan sosok penulis yang produktif, tercatat ada 68 judul buku yang ditulis di 115 publikasi dan diterjemahkan dalam 10 bahasa serta disimpan oleh 351 perpustakaan di seluruh dunia.

“Saya harapkan segera disusun Biografi IGB Sugriwa yang lengkap dan diedarkan secara luas sebagai salah satu referensi dalam bidang agama, sastra dan seni budaya Bali. Perlu diterbitkan pula secara terpisah dari Biografi IGB Sugriwa yaitu sebuah Bibliografi karya-karya Sang Mpu Ageng dijadikan dasar pembelajaran di bidang agama, sastra, dan seni,” ujar Bandem.

Serangkaian seminar diserahkan penghargaan “I Gusti Bagus Sugriwa Nugraha” kepada empat tokoh yakni Ida Padanda Gede Putra Telabah (alm), Ida Padanda Gede Putra Bajing, Ida Bagus Gde Agastya, dan I Gede Sura. (ist)