Dialog “Crafting The Archipelago”, Rancang Bangun Arsitektur Berlandaskan Kearifan Lokal

(Baliekbis.com), Selaras pameran Bali Architecture Week 2019: Popo Danes and Friends (9-17 Februari 2019), diselenggarakan pula timbang pandang bertajuk “Crafting The Archipelago”. Acara berlangsung Minggu (10/02) di Bentara Budaya Bali (BBB), Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No.88A, bypass Ketewel, Sukawati, Gianyar.

Tampil sebagai narasumber yakni arsitek Popo Danes, budayawan Putu Fajar Arcana, serta arsitek Lanang Wiantara dan arsitek Herry Palguna, keduanya merupakan alumni Popo Danes Architect. Dialog dipandu oleh arsitek Ketut Rana Wiarcha, yang juga Wakil Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia.

Selain membincangkan perihal tematik “Crafting The Archipelago” yang tecermin dalam karya-karya para peserta pameran, para narasumber juga berbagi pandangannya perihal peran arsitek untuk membangun kota dan lingkungan yang selaras kearifan lokal atau nilai-nilai filosofi dan kultural setempat.

Arsitek Lanang Wiantara dan arsitek Herry Palguna berbagi pengalaman mereka sewaktu bekerja bersama Popo Danes Architect, berikut bagaimana upaya mereka sebagai arsitek melakukan adaptasi, pendekatan, serta merespon berbagai situasi di lapangan. Misalnya dalam menerapkan rancang desain yang selaras dengan konsep Tri Hita Karana sehingga menghasilkan arsitektur yang tepat guna dan tepat makna.

Lanang Wiantara sendiri merupakan arsitek yang melakukan konservasi bangunan Pura dan Puri, dimana Konservasi Puri Ageng Blahbatuh meraih penghargaan Adhi Prajana Nugraha IAI Bali Award tahun 2016 untuk kategori Konservasi. Ia merancang kembali keadaan Puri Ageng Blahbatuh seperti semula, dengan tetap menerapkan berbagai ritual di dalamnya, tetapi kemudian memberinya peran baru dalam masyarakat modern.

Popo Danes, selaku inisiator Bali Architecture Week 2019 sempat mengungkapkan bahwa tema “Crafting the Archipelago” ini diangkat dari situasi, di mana teman-teman arsitek di Bali cukup banyak mendapatkan kesempatan dalam mengerjakan fasilitas-fasilitas kepariwisataan yang berbalut budaya, yang tersebar di cukup banyak wilayah Indonesia maupun kepulauan tropislainnya. Ia memandang hal tersebut sangat layak di kedepankan untuk menjadi identitas profesional kalangan arsitek dari bumi Nusantara ini.

Popo Danes, yang telah meraih berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri, mengungkapkan pula bahwa sebagai seorang arsitek harus memiliki sensitivitas terhadap lingkungan dan berupaya memahami filosofi tradisi setempat di mana proyek itu dikerjakan.

“Nilai tradisional dalam sebuah arsitektur bukan saja soal desainnya, tapi juga filosofi di balik itu. Misalnya saja, saya belajar perihal arsitektur Bali, yang mana karakteristik bangunannya ternyata berangkat dari pengalaman hidup masyarakat setempat dalam merespon situasi lingkungannya,” ujar Popo Danes yang pada tahun 2018 lalui meraih IAI Awards Kategori Pelestarian.

Hal penting yang mengemuka dalam dialog adalah esensi arsitektur Bali yang sesungguhnya dapat dibawa ke kancah global, sebentuk adaptasi kearifan lokal setempat yang diterapkan untuk rancang desain arsitektur.

Pola-pola perancangan Popo Danes tak hanya merefleksikan proses akulturasi yang terjadi pada masyarakat Bali, namun secara esensial tersiratkan pula tahapan penemuan diri sebagai arsitek mumpuni. Dengan kata lain, seraya terus menerus mengajukan pemertanyaan pada diri dan lingkungannya, Popo Danes terbukti turut memberikan sumbangan pemikiran serta inspirasi dalam upaya menjaga karakter Bali sewaktu menyikapi kekinian.

Karya-karya Popo Danes juga dinilai kuasa menyelaraskan antara capaian estetik dan fungsinya secara keseluruhan. Tidak heran bila ia berupaya untuk menjadikan rancangannya tidak hanya tepat guna, namun juga tepat makna karena merangkum keunikan dan acuan filosofis dari bangunan dimaksud. Terangkum di dalamnya keelokan, kemolekan serta keunikan.

Putu Fajar Arcana menilai program Bali Architecture Week 2019 ini menyajikan interpretasi kontemporer terhadap apa yang disebut sebagai bioklimatik, sebuah upaya adaptasi terhadap iklim. Sesungguhnya, prinsip-prinsip dasar arstitektur tradisional (untuk membedakan dengan arstitektur kontemporer), sudah sejak awal mengacu kepada bioklimatik. Iklim tropis yang membentang di negara-negara Asia Tenggara pada umumnya terpengaruh oleh curah hujan, kelembaban udara, radiasi matahari, suhu udara, dan kecepatan angin. Unsur-unsur inilah yang menjadi elemen penting bagi suatu wilayah sehingga disebut beriklim tropis.

Realitas itu secara tradisional disikapi dengan konsep Tri Angga(nista, madya, dan utama). Para arsitek yang terlibat dalam pameran ini boleh dibilang menaruh rasa hormat yang demikian besar terhadap apa yang diwariskan oleh masyarakat tradisional.Mereka sebagian besar berangkat dari riset terhadap lingkungan, baik itu menyangkut kondisi alam, maupun kondisi sosial dan kultural di sekitarnya. Pola kerja semacam ini memungkinkan saya untuk menyebut mereka sebagai kelompok arsitek dan desainer yang bekerja berlandaskan green cultural architecture, para arsitek yang selalu berangkat dari realitas lingkungan Kebudayaan, di mana mereka mengembangkan sikap bersahabat terhadap keindahan dan keselarasan, “ ungkap Fajar Arcana. (ist)