Di Tengah Gelombang Demonstrasi, Merawat Optimisme Generasi Milenial dalam Sosial-Politik

GELOMBANG demonstrasi mahasiswa beberapa hari ini menarik diamati dalam konteks studi demokrasi di Indonesia. Sejumlah media besar, salah satunya Jakarta Post, menilai gelombang demonstrasi tersebut sebagai pergerakan mahasiswa terbesar sejak 1998.

Tapi terlepas dari penilaian tersebut, aksi mahasiswa kali ini menjadi menarik karena salah satu tuntutan besar mereka menyangkut isu yang jarang mendapat perhatian luas dalam perjuangan sosial-politik di Indonesia dan hampir tak pernah ditempatkan sebagai salah satu indikator demokrasi.

Untuk pertama kalinya, penolakan terhadap campur tangan negara dalam urusan-urusan privat warga terwujud dalam mobilisasi massa dengan jumlah besar di Indonesia. Untuk pertama kalinya perspektif jender dan isu seksualitas mampu menggerakkan masyarakat dalam perjuangan sosial politik. Nuansa baru ini mendobrak konservatisme agama yang begitu kuat merasuki para pejabat dan politisi di Indonesia.

Konservatisme agama membuat para pejabat dan politisi Indonesia tidak terbiasa membedakan urusan privat yang tak semestinya dimasuki negara, dengan urusan publik yang bisa dimasuki negara. Maka gelombang demonstrasi mahasiswa beberapa hari ini memiliki peran penting untuk menyadarkan para pejabat dan politisi atas kenaifan mereka mencampur-adukkan begitu saja urusan privat dengan urusan publik (negara).

Kemunculan Para Demokrat Kritis

Tanpa mengesampingkan tuntutan-tuntutan lain, seperti pembatalan hasil revisi UU KPK, penolakan terhadap RUU KUHP mendapat tempat lebih besar dalam berbagai aksi mahasiswa di berbagai wilayah beberapa hari ini. Pesan-pesan yang mereka sampaikan dikemas dalam kalimat-kalimat lucu dan menarik, khas milenial. Tapi di balik kejahilan dan selera humor yang dihadirkan di arena demonstrasi, kita menyaksikan kekuatan massa paling serius dari generasi milenial dan generasi lebih muda dalam konteks perjuangan sosial-politik di Indonesia.

Sebelumnya beberapa temuan survei mengklaim bahwa generasi ini mayoritas apatis terhadap politik. Dengan kata lain, mayoritas generasi milenial dan jurnior mereka (gen. Z) diklaim tidak tertarik dengan isu-isu politik. Pandangan ini sekarang terbantahkan dan menumbuhkan optimisme akan lahirnya para demokrat kritis yang akan mengawal pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Demokrat di sini merujuk pada warga negara yang memiliki pengetahuan memadai tentang demokrasi dan memiliki komitmen untuk melaksanakannya. Komitmen para demokrat baru ini telah ditunjukkan melalui kesiapan mereka menghadapi perihnya semburan gas air mata dan berbagai resiko lain yang setiap saat bisa menimpa mereka di tengah lautan massa.

Komitmen tersebut tentulah didasari oleh pengetahuan bahwa campur tangan negara terhadap urusan-urusan privat warganya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi; pengetahuan bahwa di dalam negara demokrasi mereka berhak menyuarakan pendapat termasuk melalui gerakan massa; pengetahuan yang melahirkan empati terhadap kelompok-kelompok lemah dan rentan yang sangat potensial menjadi korban penyalahgunaan RUU tersebut dan empati tersebut mengerakkan mereka untuk terlibat dalam perjuangan sosial-politik.

Pada titik inilah semestinya kita mengapresiasi tingkat pengetahuan dan nilai perjuangan mereka, bukan pada tingkat pemahaman komprehensif atas teks RUU yang mereka gugat.
Sangat disayangkan, pemerintah (terutama melalui para buzzernya) mencoba mendegradasi nilai perjuangan para demokrat muda ini dengan mempertanyakan tingkat pemahaman mereka atas teks-teks RUU yang mereka gugat.

Bahwa mereka mengetahui ada pasal-pasal yang potensial mengkriminalisasi warga atas urusan-urusan privat dan karena itu mereka berjuang untuk menggagalkan pasal-pasal tersebut menjadi hukum di sebuah negara demokrasi, merupakan landasan yang lebih dari cukup untuk mengapresiasi perjuangan mereka. Jika kita mengikuti logika sinis para buzzer pemerintah, pantas juga ditanyakan apakah presiden memang memahami secara komprehensif teks-teks berbagai RUU yang disetujui atau diajukannya ke DPR tersebut?

Pertanyaan di atas tidak dimaksudkan untuk dijawab atau diulas lebih panjang, tapi sengaja diajukan di sini untuk menunjukkan bahwa pengetahuan singkat yang mampu menggerakkan empati manusia terhadap kepentingan lebih luas jauh lebih berharga daripada pengetahuan mendalam yang tidak disertai kepekaan terhadap kepentingan masyarakat lebih luas. Pada titik tertentu, dapat dikatakan bahwa pergerakan para mahasiswa beberapa hari ini menunjukkan sikap lebih kritis dibanding pergerakan yang pernah terjadi sebelumnya.

Aksi-aksi massa oleh mahasiswa di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir selalu mengusung tema pemerataan kesejahteraan, penegakan hukum, kebebasan pers atau tema-tema umum lain yang sudah lazim kita dengar dalam diskusi demokrasi. Para milenial dan para junior mereka yang bergerak dalam aksi beberapa hari ini membawa tema yang lebih dalam: perlindungan terhadap hak-hak privat.

Berkaca pada negara-negara yang sudah mapan dalam praktek demokrasi, kita tahu perlindungan terhadap hak-hak privat ini merupakan salah satu unsur penting yang menentukan tingkat kebahagiaan warga negara. Indeks kebahagiaan yang pernah dirilis PBB menempatkan negara-negara yang melindungi secara tegas hak-hak privat warga negaranya di urutan teratas daftar negara paling bahagia di dunia.

Kalau negara mencampuri terlalu jauh semua urusan warganya termasuk urusan seksualitas, maka yang lahir adalah kecemasan, kecurigaan, dan praktek saling menghakimi sesama warga. Sulit mengharapkan kebahagiaan dapat mekar di tengah situasi seperti ini.

Merawat Optimisme

Langkah pemerintah menunda pengesahan RUU KUHP merupakan itikad awal yang baik dalam merespon kepedulian sosial-politik para milenial dan generasi lebih muda. Namun itikad baik tersebut semestinya diikuti langkah-langkah lebih serius berupa ketegasan pemerintah untuk melindungai hak-hak privat warganya. Bukan hanya dalam urusan seksualitas, perlindungan perempuan dan kaum marjinal dan kesetaraan gender, tetapi juga dalam kehidupan agama.

Dalam beberapa tahun terakhir diskrimainasi terhadap kelompok-kelompok minoritas tampak makin menguat, terutama di bidang kebebasan beragama. Sebagian warga menyesalkan “pembiaran” atau ketidaktegasan pemerintah terhadap kelompok-kelompok intoleran. Di saat seperti inilah negara semestinya hadir dan menunjukkan keberpihakannya pada kelompok-kelompok lemah, bukan dengan berupaya memasuki ruang-ruang privat mereka seperti ditunjukkan melalui RUU KUHP.

Kita telah melihat kepedulian besar generasi milenial dan para junior mereka terhadap isu-isu di atas. Ini modal besar dalam pembangunan demokrasi di Indonesia. Karena itu pemerintah mesti merawatnya dan mencegah mereka menjadi generasi yang abai dan apatis terhadap isu-isu sosial politik. Survei CSIS tahun 2017 menunjukkan bahwa generasi ini optimis terhadap kemampuan pemerintahan Jokowi meningkatkan kesejahteraan (75,3 %) dan kemampuan membawa Indonesia bersaing di tingkat global (76 %). Pandangan optimis ini, jika dikapitalisasi dengan tepat, akan menjadi kekuatan besar dalam mengawal dan menyukseskan pembangunan. Cara terbaik untuk itu adalah mendengar dan mewujudkan aspirasi mereka.

Bonus demokrasi yang akan menghampiri Indonesia dalam beberapa tahun mendatang sebagian besar diprediksi akan diisi oleh generasi milenial. Maka sudah saatnya sekarang mendorong keterlibatan mereka secara lebih aktif dalam mengawal pembangunan dan secara terus menerus merawat kepedulian mereka akan tegaknya nilai-nilai demokrasi. Dalam kawalan para demokrat kritis ini kita beharap dapat keluar dari kejenuhan terhadap praktek-praktek demokrasi yang hanya sebatas prosedur dan mulai melangkah lebih jauh yakni menjadikan demokrasi sebagai instrumen efektif mewujudkan masyarakat adil, sejahtera dan bahagia sebagaimana telah terwujud di negara-negara demokrasi yang sudah mapan. *Putu Suasta,M.A. (seniman, budayawan dan politisi)