Daripada Pungut 10 Dolar, Dhamantra: Lebih Baik “Kejar” Desentralisasi Fiskal

(Baliekbis.com), Wacana Gubernur Bali akan menarik 10 dolar terhadap setiap wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali dinilai cukup bagus. Kalau hal itu terwujud diprediksi dengan kunjungan wisman setahun 6 juta dan asumsi kurs Rp14 ribu/dolar maka akan ada pemasukan sekitar Rp800 miliar lebih.

“Terlepas dari berbagai dampak yang ditimbulkan dari kebijakan itu, sebenarnya ada hal penting lainnya yang bisa digali untuk mengangkat pendapatan Bali dan nilainya jauh lebih besar,” ujar Anggota Komisi VI yang membidangi industri, investasi dan persaingan usaha Nyoman Dhamantra belum lama ini di Dhamantra Centre Denpasar.

Pasalnya Bali memiliki sumber pendapatan yang sangat besar terutama dari industri pariwisata dan ikutannya. Kalau saja pendapatan dari pariwisata ini bisa lebih banyak masuk (kembali) ke kas Bali, maka pembangunan Bali akan pesat dan kesejahteraan masyarakatnya lebih meningkat.

“Jadi hemat saya bagaimana Pemerintah Bali bisa berupaya meraih hasil pariwisata yang begitu besar itu. Sehinga tak perlu lagi misalnya membuat kebijakan mengutip 10 dolar dari wisman yang ke Bali yang mana hal itu bisa beresiko terhadap jumlah kunjungan ke daerah ini,” ujar Dhamantra.

Bila Bali bisa berjuang untuk mendapatkan lebih banyak dari pendapatan pariwisata yang ada, bukan saja pembangunan akan lebih pesat, juga masyarakat tak perlu bersusah payah cari bantuan sana sini untuk kegiatan sosial dan keagamaan. “Bahkan rakyat Bali tak perlu lagi ada yang antri untuk ikut program transmigrasi,” tambah politisi PDI Perjuangan dua periode di DPR RI yang mengaku prihatin dengan banyaknya warga Bali yang bertransmigrasi.

Sebab kondisi tersebut menunjukkan salah satu keadaan kalau yang bersangkutan hidup sangat miskin. Padahal Bali ini dikenal luar biasa pendapatannya dari pariwisata. Lantas pertanyaannya kemana devisa yang begitu besar itu dan untuk siapa?

Dikatakan perjuangan untuk meraih pemasukan dari industri pariwisata ini dinilainya sangat realistis. Pasalnya pendapatan pariwisata nasional, separonya disumbangkan Bali. Dan yang kemudian dikembalikan ke Bali boleh dibilang sangat kecil. “Kalau saja dari pemasukan pariwisata itu, lebih banyak yang dikembalikan ke Bali, atau mendekati separonya saja, maka Bali akan sejahtera,” tambah Dhamantra.

Perjuangan untuk itu diakui memang tidak mudah. Beda dengan daerah lain yang memiliki sumber daya alam seperti migas dan hasil tambang bisa mendapatkan hasil lebih besar karena didukung dengan undang-undang. “Nah Bali yang tak punya tambang dan hanya mengandalkan industri pariwisata mestinya bisa maksimal memperjuangkan desentralisasi fiskal ini,” ujarnya.

Cuma undang undang menjadi pembatas. Dhamantra melihat celah untuk itu ada yakni secepatnya bisa menyelesaikan revisi Undang Undang Provinsi Bali yang merupakan bagian dari semangat otonomi daerah. Sebab undang undang yang berlaku sekarang boleh dibilang sudah kedaluwarsa yakni UU Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Revisi terhadap UU yang masih bergabung dengan NTB dan NTT itu harus dilakukan melalui DPR. Jadi perjuangan pembentukan UU Provinsi Bali perlu mendapat dukungan dari NTB dan NTT. Pasalnya UU yang sudah ada dan hendak direvisi itu mengatur tentang pembentukan tiga provinsi (Bali, NTT, dan NTB). (bas)