Belajar dari Batang, Menularkan Spirit Revitalisasi ke Desa-desa di Bali

GERAKAN Revitalisasi Desa (GRD) yang diinisiasi dan dikoordinir oleh Yayasan Bina Swadaya melahirkan optimisme dan inspirasi bahwa desa dapat berperan sebagai pusat perkembangan sosio-ekonomi yang sejajar dengan kota.

Gerakan tersebut telah diuji-coba di 10 desa di Kecamatan Batang selama 2 tahun. Dalam bukunya “GRD: Dari Batang Ke Seluruh Indonesia” Bambang Ismawan, pendiri Bina Swadaya, memotret perkembangan signifikan 10 desa di Kecamatan Batang sebagai hasil dari uji coba tersebut. Desa-desa tersebut tergolong miskin baik dari segi SDA maupun SDM. Namun berkat pelatihan dan pendampingan yang serius serta konsisten, kesejahteraan masyarakat di 10 desa tersebut berhasil ditingkatkan.

Kuncinya adalah mengubah pola pikir masyarakat dan memperbaiki etos kerja mereka untuk bisa memaksimalkan kekayaan dan potensi ekonomi di sekitar mereka. Mengubah pola pikir, etos kerja dan mentalitas masyarakat desa dari pelaku pasif menjadi aktif di bidang ekonomi merupakan kunci dari pemberdayaan desa. Pelaku pasif cenderung pasrah dengan keadaan atau berusaha sekadar untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Sementara pelaku aktif akan berusaha secara maksimal memamfaatkan potensi-potensi ekonomi yang ada di sekitarnya dan untuk itu dia membutuhkan etos kerja yang baik agar bisa berhasil.

Mentalitas pelaku pasif dalam skala tertentu hingga hari ini masih tergambar dari cara-cara masyarakat desa di Bali dalam memamfaatkan peluang ekonomi pariwisata yang sebagian besar menyasar wilayah-wilayah desa. Di Canggu dan Kuta Selatan, misalnya, masyarakat lebih memilih mengontrakkan tanah mereka daripada terlibat aktif sebagai pelaku ekonomi di dua kawasan pariwisata yang sedang berkembang pesat tersebut. Sebagian besar para pemilik tanah hanya mengandalkan pemasukan ekonomi dari biaya kontrak. Padahal mereka memiliki peluang untuk menjadi pelaku utama ekonomi di kawasan tersebut dan dengan demikian semestinya dapat memberdayakan masyarakat lokal di sekitar mereka, selanjutnya dapat berperan lebih besar dalam pembangunan desa.

Modal Kultural
Sumbangan terbesar Bina Swadaya melalui keberhasilan uji coba di Kecamatan Batang adalah optimisme dan inspirasi yang dapat ditularkan ke seluruh desa-desa di Indonesia untuk bisa merevitalisasi dirinya secara mandiri. Pola yang dilakukan Bina Swadaya dapat dijadikan panduan, yakni membangun kelembagaan sosial ekonomi desa serta aktivitas sosial ekonomi agar tercipta desa yang mandiri dan dapat berdaya saing. Dalam konteks Bali, pembangunan kelembagaan sosial ekonomi desa semestinya dapat lebih mudah dilaksanakan karena telah memiliki basis kultural yang kuat.

Secara kultural, masyarakat pedesaan di Bali sejak dahulu kala telah memiliki keteraturan dalam pembagian peran, wewenang dan tanggung jawab individu-individu maupun pranata-pranata sosial melalui aturan lisan yang disebut ‘awig-awig’. Kendati tak tertulis, ‘awig-awig’ berperan sebagai “Undang-Undang Desa” yang dipatuhi dan mengikat seluruh warga. Setiap pelanggaran terhadap “Undang-Undang” lisan tersebut akan mendapat sanksi setimpal yang berjalan secara konsisten.

Kini ‘awig-awig’ telah disusun secara tertulis untuk mengatur secara lebih rapi hak, kewajiban, wewenang, pengangkatan perangkat-perangkat desa dan berbagai hal-hal penting lainnya. Keteraturan secara organisatoris kehidupan masyarakat desa-desa di Bali ini sudah cukup menjadi batu loncatan untuk mengembangkan diri dalam rangka pemberdayaan desa. Masyarakat hanya perlu “ditulari” optimisme dan inspirasi melalui contoh-contoh keberhasilan seperti yang telah ditunjukkan Bina Swadaya.

Memaksimalkan Momentum
Modal kultural di atas dapat dijadikan sebagai basis kelembagaan dalam memaksimalkan momentum perbedayaan desa yang kini sedang gencar digaungkan di seluruh Indonesia. Untuk Bali sendiri, kita dapat mengidentifikasi sekurang-kurangnya 4 momentum yang mesti dimamfaatkan secara maksimal dalam perbedayaan desa.

Pertama, perhatian dari pemerintah pusat terhadap desa-desa di Indonesia demikian besar, termasuk juga desa-desa di Bali. Perhatian pemerintah pusat itu, misalnya, tekenal dengan Program Dana Desa. Untuk tahun 2020 mendatang saja, pemerintah pusat telah menganggarkan dana sekitar Rp 72 triliun sebagaimana disampaikan Presiden RI Joko Widodo dalam keterangan pemerintah atas RUU APBN 2020 dan Nota Keuangan dalam Rapat Paripurna di gedung DPR, Jakarta, pada Jumat, 16 Agustus 2019.

Kedua, sebagai bentuk keseriusan pemerintah terhadap pemberdayaan desa, maka pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Terbitnya Undang-undang Desa ini menjadi landasan hukum yang kuat bagi desa untuk mengembangkan dirinya. Desa, melalui perangkat desa, memiliki wewenang untuk mengembangkan dirinya sebagaimana diatur dalam Bab IV Undang-undang Desa di mana di antaranya disebutkan bahwa kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan masyarakat desa dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul dan adat istiadat desa.

Ketiga, khusus untuk desa-desa di Bali, telah diterbitkan pula Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Dalam Perda ini makin ditegaskan keluasan dari peran desa adat dalam pengembangan dan pemberdayaan dirinya. berbekal Perda ini, desa-desa adat di Bali bukan saja menjadi kuat secara kelembagaan adat yang telah dikukuhkan menjadi subyek hukum, melainkan yang lebih penting adalah keberanian mengembangkan dirinya demi kesejahteraan dan kemajuan desa adat yang bersangkutan tanpa harus mengubah atau kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat adat.

Keempat, suburnya pertumbuhan dunia pariwisata Bali membuat desa-desa di Bali lebih dekat dengan kesempatan-kesempatan emas dalam merengkuh kesejahteraan, meraih pergaulan yang lebih luas dan kesempatan belajar yang lebih terbuka terutama dalam dinamika pergaulan. Lebih kemudian destinasi pariwisata Bali banyak menyasar wilayah-wilayah desa seperti Ubud dan sekitarnya. Beberapa desa adat telah memainkan peran kelembagaan desanya dalam kancah pariwisata Bali, namun terlihat belum optimal dalam merengkuh kesejahteraan yang merata. Empat faktor yang disebut di atas adalah lebih dari cukup untuk—istilah kerennya—‘move on’ bagi desa-desa di Bali memainkan peran kelembagaannya untuk mencapai keunggulan dalam kelembagaan desa dan juga keunggulan dalam sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan.

Kewenangan yang kuat dan luas berdasarkan UU Desa dan Perda Provinsi Bali tentang Desa Adat harus dimanfaatkan dengan serius oleh perangkat desa dan warganya untuk mengoptimalkan tujuan perberdayaan desa. Revitalisasi desa kini adalah sebuah keniscayaan karena jika tidak, desa-desa (adat dan dinas) di Bali ibarat ayam yang kelaparan di dalam lumbung penuh padi.

Penguatan SDM
Untuk menyukseskan program pemberdayaan desa, pertama-tama para perangkat desa seperti kepada desa, sekretaris dan bendahara harus dipilih berdasarkan tingkat intelegensi yang memadai, minimal mengetahui dasar-dasar manajemen. Karena bagaimanapun mereka adalah ujung tombak dalam penyelenggara pemerintahan desa, menjalankan kebijakan-kebijakan yang telah ditentukan dalam ‘paruman’ (rapat desa). Selain itu, mengingat kewenangan yang begitu besar bagi desa dalam mengelola dirinya-sendiri, maka perangkat desa harus berani memetakan keadaan geografis, sosiologis dan kelebihan atau kekurangan yang ada di desanya.

Dari sinilah usulan program-program desa dikemukakan dalam ‘paruman’. Kemajuan dicapai dengan adanya program yang jelas, baik itu program jangka pendek maupun program jangka panjang. Program-program desa adalah pegangan untuk memperjelas arah pencapaian tujuan desa. Dalam program tentu ada yang harus diprioritaskan, terutama menyangkut keperluan-keperluan fisik, sementara program yang bersifat pemantapan pemberdayaan sumber daya manusia adalah pendidikan.

Sebetulnya yang paling krusial dalam pemberdayaan dan pemandirian desa adalah modal pendidikan. Sejujurnya, ini yang sering diabaikan oleh desa-desa di Bali. Padahal sumber daya manusia yang utama itu adalah mereka yang kuat aspek intelektualnya. Karena itu, desa-desa diBali (adat dan dinas) harus berani membuka diri demi tujuan kemajuan desa yang dalam hal ini adalah kesejahteraan. Melalui ‘paruman’, perangkat desa dan warga harus berani mencetuskan gagasan untuk menghadirkan lembaga swadaya masyarakat maupun para profesional berbagai bidang dalam melatih atau pendampingan secara berkala.

Satu-satunya cara untuk meraih pemberdayaan desa dan kemajuan dalam kesejahteraan adalah sifat membuka diri menerima pengetahuan dari luar. Hal ini juga dianjurkan oleh pemerintah pusat berkaitan dengan program bantuan dana desa yang menghimbau suatu lembaga atau profesional mendampingi desa dalam pengelolaan keuangan yang memadai.
Desa harus berani menanam investasi pengetahuan demi kemajuan desa terutama melalui pendidikan anak-anak dengan mencetuskan berbagai berbagai program, misalnya bukan tak mungkin desa menyokong anak-anak dan remaja di desanya yang berprestasi melalui program beasiswa; bukan tak mungkin pula desa secara aktif mengundang para profosional atau lembaga tertentu untuk pelatihan dan pendampingan program yang sedang atau akan dilaksanakan; bukan tak mungkin pula perangkat desa secara aktif mengikuti seminar, workshop, pelatihan jangka pendek yang diselenggarakan oleh lembaga nasional maupun internasional demi meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.

Menjadi warga desa tak harus bersikap bodoh, naif dan menjadi penonton dalam arus pergerakan dinamika kehidupan. Tanpa mengubah tatanan dan geografis desa, masyarakat desa berhak pula mendapatkan impian-impian mereka tanpa harus beranjak dari desa. Inilah pentingnya investasi pendidikan bagi warga desa. Dan bukan hal berlebihan jika investasi pendidikan bagi desa adalah hal paling penting dan menjadi prioritas utama. Apalagi rata-rata desa di Bali saat ini relatif mudah diakses, dan dalam beberapa hal malah menjadi kerumunan pemukiman bagi ekspatriat asing seperti Ubud, dan belakangan juga berkembang di Amed dan Tulamben, Karangasem.
Membangunan ketahanan intelektual warga desa adalah modal yang paling tangguh dalam menjaga hakikat desa sebagai pemukiman yang mendamaikan, mensejahterakan dan mengimbangkan dengan kehidupan kota. Dengan modal ini, meski saat ini masih dalam tahapan program jangka panjang, misalnya, desa-desa di Bali akan dapat terlibat bukan saja memainkan peran-peran kecil dalam pembangunan Bali, melainkan juga sanggup menjadi pemain utama dalam menyumbang sumber daya manusia yang tangguh. Dalam konteks paling riil, desa bukan lagi menjadi sekadar pelengkap dalam gemuruh bisnis pariwisata Bali, melainkan menjadi penentu utama dalam gelombang besar pariwisata Bali.

Memaksimalkan Potensi
Hampir semua desa di Bali memiliki sumber alam yang potensial, masyarakatnya juga ulet bekerja, kekayaan kultural yang luar biasa serta kehidupan pariwisata yang terjaga sepanjang tahun. Ditambah pula bantuan pemerintah pusat dalam program dana desa, maka tak lagi ada alasan untuk desa-desa di Bali ‘mati di tengah lumbung yang penuh padi’. Jika Bali sanggup mencontoh (GRD) di Kecamatan Batang itu, sanggup memanfaatkan program dana desa dengan baik, sanggup menanam investasi pendidikan jangaka pendek, menengah dan panjang, maka bukan hal mustahil Bali akan menjadi contoh pula sebagai desa unggul dalam banyak hal.
Desa-desa di Bali harus bergerak dalam skala revolutif.

Sebagai bentuk desa adat, ia telah memiliki kekuatan hukumnya (Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019); sebagai masyarakat adat, ia telah memiliki kekayaan kulturalnya; secara geografis, Bali adalah destinasi internasional, maka betapa kayanya ‘modal’ yang dimiliki masyarakat Bali, khususnya masyarakat pedesaan. Inilah mengapa desa-desa di Bali sudah saatnya kini melakukan gerakan revitalisasi desa secara revolutif dalam mengejar ketinggalan-ketinggalan dalam hal kesejahteraan, pendidikan dan kemandiran. Tak ada waktu lagi untuk terlena oleh puja-puji tentang Bali sementara masyarakatnya masih berkutat kepada kepentingan-kepentingan paling elementer.

Menjadikan desa-desa sebagai penggerak pembangunan di Bali sungguh bukan hal mustahil. Karena persyaratan untuk itu telah mereka miliki. Tinggal bagaimana masyarakat desa di Bali membangun kesadaran baru, cara pandang baru, berani membuka diri pada konteks zaman, maka semua itu menjadi nyata. Jika hal ini terwujud, maka warga desa yang bekerja di kota akan pulang kembali ke desa! *Putu Suasta