Bawaslu Dorong Penyempurnaan UU Pilkada

(Baliekbis.com), Anggota Badan Pengawa Pemilu (BAWASLU) Rahmat Bagja memandang perlu penyempurnaan kembali Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

“Kami memandang ada beberapa hal yang perlu disempurnakan dalam UU Pilkada agar pola-pola pengawasan yang telah baik dilaksanakan pada pengawasan Pemilu 2019 tetap bisa diimplementasikan pada pengawasan Pilkada mendatang,” kata Anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja saat menjadi pembicara dalam sarasehan Bertajuk ‘Mencari Kepala Daerah Berintegritas dalam Pilkada 2020’ di Selasar Barat Fisipol UGM, Jumat (18/10/2019).

Dia menyampaikan saat ini Bawaslu telah mempersiapkan sejumlah langkah optimalisasi kerja pengawasan. Salah satunya menyiapkan Peraturan Bawaslu sebagai pedoman pelaksanaan pengawasan setiap tahapan Pilkada. Tak hanya itu pihaknya juga tengah mengupayakan judicial review (JR) UU NO. 10 2016 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Terkait UU Pilkada ini, Bagja meenyebutkan upaya paling ekstrem yang perlu segera disempurnakan adalah terkait nomenklatur. Mengokohkan posisi bawaslu kabupaten/kota dalam pengawasan pilkada yang pada UU Pilkada masih disebut Panitia Pengawas (Panwas) kabupaten/kota. Kemudian, mengupayakan revisi terbatas UU Pilkada ke DPR dan pemerintah agar fungsi-fungsi pengawasan sebagaimana yang telah diatur di UU Pemilu bisa sejalan di UU Pilkada.

Dalam acara yang diselenggarakan Insan Cendekia Yogyakarta bekerjasama dangan Research Centre for Politics and Goverment (PolGov) tersebut Bagja menyebutkan Bawaslu juga terus memantapkan pedoman-pedoman pengawasan Pilkada sesuai amanah UU Pilkada sebelum keluarnya hasil JR. Selain itu revisi terbatas UU Pilkada untuk memperkecil ruang ruang pelanggaran dalam Pilkada mendatang. hal itu dilakukan dengan memantapkan kesiapan jajaran Bawaslu di daerah, baik dari sisi pemahaman atas regulasi Pilkada maupun kompetensinya.

Selain lembaga dalam Sentra Penegak Hukum Terpadu (Gakkumdu), di Bawaslu ada program pengawasan partisipatif yang menggandeng masyarakat dalam mengoptimalkan upaya pengawasan Pilkada mendatang. Diantaranya dari Ormas, Organisasi Keagaamaan, Kepemudaan, tokoh masyarakat, tokoh agama, tak terkecuali Perguruan Tinggi, kelompok millenial dan pemilih pemula. Pada Pemilu 2019 lalu, Bawaslu di daerah-daerah telah menggagas berbagai program pengawasan partisipatif bersama masyarakat sesuai dengan karakteristik lokal wilayahnya masing masing.

“Kalau di Yogyakarta ini seperti kita tahu ada Desa Anti Politik Uang (APU). Nah, di Pilkada nanti, program Desa APU ini kami harapkan bisa dikembangkan dan memperluas jangkauan ke desa desa lainnya di Yogyakarta sehingga pengawasan partisipatif Pilkada ke depan bisa lebih optimal,” terangnya.

Bawaslu tidak hanya menggandeng masyarakat pemilih, tetapi juga para peserta Pilkada, dalam hal ini para kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hal itu dilakukan sebagai upaya pencegahan agar para kandidat dapat menjaga semangat keadilan dalam berkompetisi, tidak melanggar aturan-aturan Pilkada.

“Agar bersama-sama berkomitmen menjunjung tinggi Pilkada yang bersih, Luber dan Jurdil. Juga, bersama sama menjaga kondusiftas daerahnya,” tegasnya.

Selain Bagja, hadir sebagai pembicara Sigit Pamungkas (Mantan Ketua KPU), Heri Santoso (Ketua Pusat Studi Pancasila UGM), Arya Budi, M.APS (Dosen Fisipol UGM) dan Retna Susanti (Praktisi Hukum).

Dalam kesempatan tersebut Ariya Budi lebih menyoroti hal yang menurutnya lebih substansial terkait upaya JR Bawaslu terhadap UU Pilkada. Dia menjelaskan pada tahun 2020 terdapat 270 Pilkada di kabupaten dan kota se Indonesia, sehingga ide-ide desentralisasi pengawasan menjadi penting. Menurutnya urusan pengawasan Piklada di Kabupaten dan Kota sudah seharusnya menjadi urusan Bawaslu Kabupaten Kota.

“Apakah dengan jumah pilkada yang banyak sehingga potensi pelanggaran pilkada juga banyak, Bawaslu provinsi bisa menggunakan skenario asistensi atau back up misalnya. Nah itu kan hal-hal substansial yang sebenarnya krusial untuk di JR , kecuali pemenuhan terhadap Undang-Undang tersebut sudah dilakukan oleh institusi terkait,” ujar Arya yang juga peneliti pada PolGov UGM.

Selama ini Bawaslu terkesan hanya seolah-olah berhenti pada melihat dan melaporkan, karena banyak temuan yang kemudian dimentahkan dan tidak sampai ke persidangan karena kekurangan alat bukti. Hal itu disebabkan karena durasi waktu yang diberikan kepada Bawaslu sangat sedikit dari proses pengumpulan bukti hingga pelaporan.

Dia menyebutkan sentra penegakan hukum terpadu (Gakkumdu) yang didalamnya ada unsur kepolisian dan kejaksaan dibangun untuk menciptakan konektivitas ketika ditemukan pelanggaran. Kendati begitu  dalam pelaksanaannya belum berjalan sesuai harapan.

“Jadi bukan hanya di nomenklatur tapi di substansi bagaimana pengawasan itu bisa ditindaklanjuti. Itu yang kemudian perlu diatur ulang di dalam undang-undang terkait Pemilu terutama dalam menghadapi Pilkada mendatang,” tandasnya. (ika)