Bank Indonesia Tahan Suku Bunga Acuan Sambil Mencermati Perubahan Kebijakan AS

(Baliekbis.com), Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan di tingkat terendah di 3,5% pada Kamis (18/11), melanjutkan kebijakan yang dilakukan sejak 21 Maret. Inflasi yang terjaga, stabilitas di pasar keuangan – rupiah, obligasi negara termasuk mata uang dan obligasi dengan kinerja di atas rata-rata – dan kebutuhan untuk melindungi prospek pemulihan, telah menurunkan tekanan untuk menormalkan kebijakan dalam waktu dekat.

Perkiraan ekonomi: Perkiraan resmi tidak berubah, dengan pertumbuhan diperkirakan akan meningkat pada triwulan ke-4 vs triwulan ke-3, yang terdampak pembatasan mobilitas ketat (Indonesia: Pertumbuhan lebih kuat pada akhir 2021) dan inflasi tetap berada dalam kisaran target 2-4% tahun ini dan tahun depan. Pertumbuhan kredit bank terus membaik, mencatatkan kenaikan 3,2% YoY pada 21 Oktober vs -1,9% pada paruh pertama 2021, juga diuntungkan oleh unsur basis dan mendorong penyesuaian penurunan lebih lanjut dalam suku bunga pinjaman. Proyeksinya adalah defisit transaksi berjalan yang membaik tahun ini dan tahun depan. Langkah-langkah kebijakan makroprudensial, yang mendukung, yaitu pelonggaran persyaratan uang muka untuk kredit perumahan dan mobil diperpanjang hingga 2023. BI telah membeli obligasi senilai lebih dari Rp143 triliun (0,9% dari PDB) dari pasar perdana sejak awal tahun ini.

Ramalan/Perkiraan: Memasuki 2022, BI akan berupaya untuk mempertahankan stabilitas rupiah dan kinerja obligasi, yang di atas rata-rata, pada tahun ini saat Bank Sentral AS mulai mengurangi pembelian aset dan memperketat suku bunga dengan angka inflasi kuat. Rupiah telah terdepresiasi 1,3% terhadap dolar AS sejak awal tahun, dibandingkan dengan rekan-rekan Asia lebih lemah, termasuk mata uang baht (-8,2%) dan ringgit (-3,8%).

Otoritas Indonesia memiliki lebih banyak peluang kebijakan mengingat prospek positif dalam keseimbangan eksternal (kami memperkirakan surplus transaksi berjalan tahun ini) berkat penyangga komoditas di samping dukungan resmi langsung untuk program pinjaman tahun depan. Manuver kebijakan Bank Sentral AS akan dicermati secara ketat, dengan tanda-tanda kenaikan suku bunga acuan dipercepat di tahun 2022 kemungkinan akan meyakinkan BI untuk meninjau kebijakannya untuk mengurangi tekanan negatif pada Rupiah karena perbedaan suku bunga. Perubahan kebijakan mungkin juga bisa didorong oleh kemungkinan kenaikan dalam inflasi domestik yang lebih tinggi karena faktor  pasokan/bahan baku dan pemulihan permintaan.

Kebijakan fiskal: Lebih banyak faktor pendukung untuk kebutuhan pembiayaan 2022

Sebagai tanda situasi pembiayaan yang mencukupi, pemerintah membatalkan lelang utang/sukuk, yang dijadwalkan untuk sisa tahun ini – senilai Rp54,8 triliun (Rp26 triliun diraih pada Oktober dari Rp80,75 triliun yang direncanakan untuk triwulan ke-4) untuk Nov-Des 2021, dibantu oleh pengeluaran lebih lambat dan pertumbuhan pendapatan lebih baik. Selain kinerja pasar obligasi tahun ini, yang di atas rata-rata, kami telah mencatat perkembangan faktor pendukung untuk pinjaman domestik 2022 dan kurs rupiah dalam “Pembagian beban” positif bagi IndoGB dan Indonesia: Langkah-langkah pajak dan perdagangan kuat meningkatkan ketahanan.

Selain itu, sebuah keputusan terbaru yang memungkinkan Kementerian Keuangan untuk menggunakan akumulasi surplus kas (disebut sebagai saldo anggaran lebih/SAL) dari anggaran negara untuk menstabilkan pasar obligasi jika diperlukan, melalui pembelian di pasar sekunder dan melakukan operasi likuiditas, seperti, transaksi pembelian kembali obligasi dengan kesepakatan untuk menjual kembali dengan harga lebih tinggi (reverse repo). Kami melihat ini sebagai langkah tambahan untuk mendukung program pinjaman dalam negeri tahun depan dan pada akhirnya menahan gejolak di pasar utang, seiring dengan kondisi global, yang kurang kondusif. Bank Sentral AS diperkirakan akan mengurangi pembelian obligasi pada pertengahan tahun depan sebelum mempertimbangkan kenaikan suku bunga, sementara mungkin rekan-rekan pasar maju lain telah mulai mengurangi atau menetapkan dasar untuk normalisasi kebijakan. Kedua, investor domestik secara konsisten meningkatkan jejak kepemilikannya. Ini dipimpin oleh bank komersial, perusahaan asuransi dan dana pensiun, selain bank sentral, yang secara kumulatif telah meminimalkan dampak arus keluar utang luar negeri (porsi yang harus dibayar turun menjadi 21,2% pada 21 Oktober dari 38,6% pada 19 Desember), membuat kinerja obligasi bersih di atas rata-rata sejak awal tahun.

Di sisi lain, kelebihan dana, yang cukup besar, juga menyiratkan bahwa pengeluaran fiskal berlangsung dengan kecepatan lebih moderat ketimbang yang dianggarkan, menurunkan potensi dorongan untuk pertumbuhan. Dalam 10 bulan pertama 2021, defisit anggaran telah mencapai 3,3% dari PDB, sebesar Rp549 triliun, vs setahun penuh yang dianggarkan, 5,7%. Total pengeluaran mencapai 75% dari skala yang dianggarkan, dengan 65% dari rencana pemulihan nasional (PEN) dicairkan pada 21 Oktober. Ini termasuk suntikan senilai Rp71,2 triliun vs yang dianggarkan, sebesar Rp37,4 triliun, ke BUMN dan dipatok Rp38,5 triliun ke tujuh BUMN tahun depan, antara lain untuk gabungan infrastruktur, konstruksi, perusahaan pembiayaan perumahan.

Pendapatan naik 18% YoY pada Jan-Okt 2021, didorong oleh pemungutan pajak dan non-pajak lebih tinggi. Secara khusus, harga komoditas lebih tinggi telah mengangkat pendapatan dari sumber daya alam, yang merupakan sepertiga dari penerimaan bukan pajak. Pada September, pungutan non-pajak telah melampaui perkiraan yang dianggarkan, memberikan dorongan untuk perhitungan pendapatan secara keseluruhan, dan dengan demikian membantu mengatasi penyimpangan pengeluaran dari yang dianggarkan. Pendapatan bukan pajak telah melampaui perkiraan yang dianggarkan, memberikan dorongan pada perhitungan pendapatan secara keseluruhan, dan dengan demikian membantu mengatasi penyimpangan pengeluaran.

Perkembangan fiskal sejak awal tahun (year to date/ytd) memperkuat ekspektasi kami bahwa defisit fiskal 2021 akan lebih baik, sebesar 5% dari PDB vs 5,7% yang dianggarkan dan perkiraan terbaru pemerintah sebesar 5,25%. Selain itu, untuk 2022, kami memperkirakan defisit akan lebih kecil menjadi 4,5% dari PDB vs 4,85%, mengandalkan optimisme pendapatan karena kenaikan pajak yang akan datang dan laju pengeluaran, yang moderat.