Bangsa yang Sedang Gaduh Mencari Jati Diri

TAHUN 2020 kita awali dengan harapan dapat meninggalkan aneka kegaduhan tahun sebelumnya dan berkonsentrasi menghadapi aneka tantangan sosio-ekonomi global. Tak perlu waktu lama untuk membuktikan bahwa harapan tersebut nyatanya belum bisa terwujud karena berbagai bentuk kegaduhan terus bergelayut dalam keseharian kita hingga awal bulan kedua 2020.

Indonesia hari ini lebih menunjukkan diri seperti remaja labil yang sedang berada dalam proses pencarian jati diri, daripada sebuah bangsa yang telah matang ditempa sejarah. Dalam proses pencarian jati diri tersebut, kegaduhan lahir dari pertentangan-pertentangan berbagai opini dan sudut pandang tentang bagaimana seharusnya negara ini dijalankan.

Lihatlah, misalnya, kegaduhan tentang Omnibus Law. Sebagian kelompok benar-benar prihatin dengan aturan-aturan tentang dunia usaha di Indonesia yang saling tumpang tindih dan bertele-tele. Mengacu pada kemudahan berusaha di negara lain, muncul inisiatif untuk menyederhanakan berbagai aturan tersebut secara cepat. Kelompok lain mencurigai inisitif tersebut sebagai usaha melanggengkan kapitalisme yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Ada juga menyebarkan teori-teori konspirasi bahwa upaya tersebut bertujuan memperbesar hegemoni negara-negara tertentu atas Indonesia.

Masih banyak suara-suara sumbang lain, di samping suara-suara yang mendukung, digaungkan secara terus-menerus terutama melalui kanal-kanal digital. Keributan tentang merebaknya virus corona di China juga memunculkan pertentangan tajam tentang bagaimana seharusnya pemerintah Indonesia bersikap. Pertentangan tersebut dibakar dengan berbagai spekulasi, teori-teori konspirasi, hoaks dan perang opini dari oknum-oknum yang mendadak menjadi ahli.

Dua topik di atas hanya bagian kecil dari rangkaian panjang sumber kegaduhan di negeri ini yang jika dirunut ke belakang, sesungguhnya bersumber dari 3 masalah utama sebagaimana menonjol di tahun 2019, yakni perseteruan sosial politik, korupsi dan radikalisme.

Sosial Politik

Politik adalah penyumbang terbesar dalam kegaduhan sepanjang 2019. Ini tak bisa dilepaskan dari peristiwa Pilpres 2019. Para pengamat politik melihat, inilah Pilpres paling fenomenal dari yang pernah terjadi di negeri ini. Menjadi fenomenal karena perseteruan itu telah menjadi kegaduhan jauh sebelum masa pencoblosan 17 April 2019.

Hampir seluruh masyarakat dari segala lapisan tersedot perhatiannya pada Pilpres 2019. Segala media, cetak dan elektronik, memborbardir sepak terjang, statemen dan ‘tawar-menawar politis’ berkaitan dengan Pilpres 2019 lalu. Keberadaan media internet yang menjadi bagian lumrah saat ini makin ‘mengipasi-ngipasi’ isu, memberi panggung yang makin dekat diketahui oleh masyarakat luas.

Yang membuat hura-hara politik menjadi sengit dan memanas sepanjang menuju Pilpres 2019 adalah ‘perang statemen’ dari kalangan para politisi, ‘perang gertakan’ dari masing-masing kubu, keriuhan para pendukung yang datang dari masyarakat dan relawan yang tegas-tegas memperlihatkan keberpihakannya. Perseteruan tersebut, di beberapa daerah, kerap kali meruncing menjadi perseteruan fisik. Meski aparat dengan sigap telah sanggup mengatasi dan mendinginkan suasana, namun tak ada jaminan hal tersebut benar-benar mereda.

Selama jelang Pilpres 2019, perseteruan itu bukan saja terjadi di kalangan partai koalisi dan para relawan yang membentuk semacam ‘lembaga pendukung’, namun yang tak kalah juga sengitnya adalah berimbas kepada masyarakat luas. Mereka terbelah menjadi dua kelompok yang berseteru justru tanpa ‘dikompori’ oleh tim pememangan masing-masing kontenstan. Mereka membangun kesadaran sendiri berdasarkan idealisme, ‘cita rasa’ karena kekaguman figur, fanatisme masa lalu, dan sejumlah alasan lain.

Hal ini dapat dipantau dengan jelas dalam media-media sosial seperti facebook, twitter, WhatsApp Group. Status maupun cuitan mereka di media sosial dengan sengit, berani dan sering kali juga kasar, menjadi tranding topic sepanjang jelang dan sesudah Pilpres 2019. Keberadaan media sosial ini juga berpartisipasi aktif ‘memanaskan situasi tahun politik 2019 ini. Selain partisipasi aktif masyarakat di media sosial, kedua kubu juga turut memainkan strategi media di dunia maya ini.

Internet ibarat bola liar. Segala ikhwal melepas di sana dan segala ikhwal bisa terjadi. Intenet sering kali dijadikan ruang penipuan, pemfitnahan, pencemaran nama baik, penyampaian kabar bohong atau hoaks, penghasutan. Kecanggihan teknologiinformasi (IT) belakangan dimanfaatkan untuk hal-hal kriminal. Dalam peristiwa politik yang terjadi tahun ini, internet dan IT juga dimanfaatkan sebagai upaya mencapai tujuan atau pemenangan, beberapa di antaranya dengan cara-cara yang tak terpuji.

Dalam fenomena paling mutakhir, peristiwa-peristiwa politik, baik yang berkait dengan Pilpres 2019 maupun sepak terjang para politisi, mendapatkan kedekatannya dengan publik luas melalui internet dengan perangkat produknya; media sosial! Jika dalam masa Orde Baru di masa lalu, khalayak hanya bisa memantau progresivitas politik hanya melalui media cetak dan elektronik, maka hari ini masyarakat dengan begitu mudahnya mendapatkan informasi paling terkini tentang progresivitas peristiwa politik, terutama dari media internet.

Pilpres 2019 ketika berlangsung, tak kurang juga menawarkan kehebohan. Ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dikabarkan meninggal. Disebut-sebut karena kelelahan. Data Kemenkes mengungkapkan, ada 527 petugas KPPS meninggal dan 11.239 orang jatuh sakit (Kompas.com, “Data Kemenkes: 527 Petugas KPPS Meninggal, 11.239 Orang Sakit”, 16 Mei 2019). Meninggalnya para petugas KPPS itu juga menjadi isu yang dihembus pihak-pihak tertentu untuk memberi citra buruk pada penyelenggaraan Pilpres.

Tak hanya sampai di situ. Keonaran Pascapilpres 2019 kemarin masih juga terjadi. Ketidakpercayaan pada penghitungan suara resmi dari KPU akhirnya berbuntut panjang. Demo-demo dari pendukung kubu yang merasa dicurangi merebak akhirnya menjadi kerusuhan yang hampir saja membumihanguskan Jakarta jika saja pihak aparat dari gabungan Polri/TNI dengan sigap mengatasi semua kerusuhan tersebut. Belakangan kemudian makin tercium bahwa kerusuhan itu ‘memiliki dalangnya’.

Bahkan persengketaan hasil penghitungan suara resmi itu sampai dibawa ke MK, namun masih juga ada pihak-pihak yang meragukan hasil keputusan MK yang diumumkan pada 28 Juni 2019 di mana dalam amar keputusannya, MK menolak seluruh permohonan yang diajukan pasangan calon presiden nomor urut 02 dalam Pilpres 2019, Probowo Subianto – Sandiaga Uno (Kompas.com, “Setelah Putusan MK Menolak Seluruh Gugatan Sengketa Pilpres 2019”, 28 Juni 2019). Sempat juga beredar isu bahwa ketidakpuasan kubu yang kalah tingkat MK akan membawa sengketa Pilpres 2019 ke Mahkamah Internasional.

Banyaknya statemen-statemen yang dikabarkan media internet dari berbagai kalangan tentang Pilpres 2019, baik menjelang, sedang berlangsung maupun sesudahnya membuat khalayak akhirnya sulit memegang kepastian kebenaran informasi. Karena pihak-pihak tertentu kadang memanfaatkan situasi ‘inflasi informasi’ untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Mana fakta dan mana hoaks acapkali membingungkan. Inilah sebabnya mengapa media-media mainstream merasa perlu membuka rubrik penelusuran kepastian suatu berita/fakta.

Panggung politik 2019 ini hanyalah menawarkan kecemasan sosial. Kecemasan itu sebetulnya telah menjadi kenyataan paling puncak pada rusuh pascapilpres 2019 di Jakarta. Dari penyelidikan intensif pihak Polri diketahui bahwa tak seluruh demonstrasi itu murni berjalan dalam kepentingan koridor demokrasi, melainkan juga dipicu oleh kepentingan dari mereka yang tak puas dengan kemenangan salah satu kubu dan memanfaatkan orang-orang bayaran untuk melakukan keonaran.

Korupsi

Kegaduhan lain yang mewarnai tahun 2019 adalah tindak korupsi. Meski korupsi bukan peristwa baru di mana telah diduga terjadi sejak Orde Baru, namun hingga 2019 ini masih saja terjadi dan dalam skala korupsi yang tak kecil. Meski kehadiran KPK cukup membawa arti dalam pemberantasan korupsi, namun dilihat dari berbagai peristiwa korupsi yang masih saja terjadi, dan dilakukan pula oleh sejumlah pejabat tinggi, maka inilah bangsa yang berada dalam kondisi ‘sakit’.

Fenomena baru yang terjadi juga berimbas pada pelaku-pelaku korupsi di tingkat desa bertalian dfengan bantuan dana desa. Sejumlah pemangku perangkat desa tak sedikit yang terjaring dalam peristiwa penyelewengan dana bantuan desa. Berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak tahun 2015 (saat bantuan dana desa dimulai dan digelontorkan) hingga semester pertama I tahun 2018, tercatat sedikitnya 181 kasus korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi dan nilai kerugian negara sebesar Rp40,6 miliar (kompas.com, “ICW: Ada 181 Kasus Korupsi Dana Desa, Rugikan Negara Rp 40,6 miliar”, 21 November 2018). Presiden RI Ir. Joko Widodo juga menegaskan bahwa ada 900 kades menyangkut tentang penyelewengan dana desa dan ia meminta warga ikut mengawasi penyelenggaraan dana desa.

Terlalu banyak peristiwa korupsi yang terjadi di negeri ini sepanjang 2019, dan dengan mudah masyarakat mencari tahu sebab seluruh peristiwa korupsi tercatat dengan baik dalam jejak digital. Lembaga semacam ICW, KPK hingga presiden pun tak menutup mata akan peristiwa hina ini. masyarakat hanya tak habis heran mengapa peristiwa ini masih saja terus berlangsung meski mereka tahu telah hadir institusi yang cukup garang menangani hal seperti ini.

Dan barangkali peristiwa korupsi yang dibongkar atau temuan lembaga semacam ICW hanyalah puncak gunung es peristiwa korupsi yang sesungguhnya. Ada upaya beberapa menteri baru dan orang-orang yang dianggap bersih mencoba kembali menguak endapan yang tertimbun lama sarang-sarang korupsi yang belakangan ini menyasar BUMN. Presiden Joko Widodo, misalnya, malah mengakui ada mafia migas yang mengantongi untung Rp 1 triliun per bulan.

Radikalisme

Masalah lain yang juga dihadapi bangsa kita ialah merebaknya radikalisme. Fenomena yang berangkat dari keyakinan tertentu ini menjadi warna yang makin kuat dalam permasalahan bangsa di tahun ini. Yang disasar ialah upaya pengubahan falsafah negara melalui serangkaian teror, agitasi, penyusupan danlain-lain. Para pengamat menilai, akan sulit memerangi radikalisme di Indoesia selama pemerintah dan rakyat belum memiliki komitmen yang jelas dan tegas.

Lagipula, disinyalamen bahwa kaum radikal tidalah bodoh. Mereka tidak sekadar melakukan teror bom, misalnya, melainkan juga sering kali memanfaatkan media, forum, dan melalui itu juga sering canggih memutar fakta dalam upaya membenarkan kepentingannya. Sejumlah petinggi negeri juga menyadari bahwa lembaga yang dipimpinnya juga terindikasi orang-orang radikal. Namun sejauh itu belum juga ada tindakan yang tegas dari pemerintah.

Padahal radikalisme jelas-jelas adalah ancaman bagi Indonesia. Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengakui, persoalan radikalisme di Indonesia sudah mulai meningkat sejak 10 tahun terakhir. “Sepuluh tahun terakhir ini mengonfirmasi radikalisme tidak hanya munculdi institusi pemerintah, namun juga di institusi masyarakat, termasuk di bidang pendidikan. Semua membuktikan bahwa ancaman radikalisme ini nyata,” kata Jaleswari dalam seminar menuju Kongres 2 Nasdem. (merdeka.com, “Radikalisme Dinilai Masih Jadi Ancaman di Indonesia”, 26 Oktober 2019).

Merekatkan Nasionalisme

Kita melalui tahun 2019 dengan kegaduhan nasional. Banyak hal-hal yang tak terpuji mengemuka sebagai ‘tontonan’ yang memalukan. Dunia politik kita seperti memperlihatkan sikap bodoh, nyinyir, debat menang-menangan dan bukan mencari kebenaran, keberanian melempar hoaks dengan tujuan menjatuh dan lain sebagainya. Anggaran pemilu dan pilpres 2019 yang mencapai Rp 24,9 triliun, sebuah angka yang sangat fantastis, harus berbalas dengan hura-hara yang jauh dari sikap terpuji. Yang mendamba sikap-sikap kekesatrian dalam politik hanyalah mimpi.

Ketika bangsa lain telah mencapai akselerasi pembangunan negerinya (Korsel, China, Vietnam,India) yang cemerlang, kita masih baku tengkar untuk hl-hal yang sangat mendasar. Kita suka benar meributkan kembali ideologi yang sudah mengakar benar di jiwa kita, mempertengkaran apa itu fiksi, apa itu radikalisme, mendebatkan makna hoaks dan sebagainya. Sementara bangsa lain menjawab persoalan kemakmuran dengan kerja, mencerdaskan bangsanya dengan memantapkan sistem pendidikannya.

Dan ke mana nasionalisme bangsa ini? Ada kenyataan paradoksal ditingkat realitas, telah terjadi begitu banyak kasus-kasus yang berpeluang menuju perpecahan bangsa dengan kasus paling mutakhir ialah kasus rusuh di Papua yang dilatarbelakangi oleh hal etnisitas. Dan memasuki bulan Desember kita mengulang-ulang kembali tentang boleh tidaknya menggunakan atribut Natal, mengucapkan selamat pada perayaan keyakinan lain di luar dirinya; sementara dalam percakapan TV dan koran-koran, kita begitu mantap meyakini nasionalisme Indonesia.

Sebagai bangsa, kita telah kelepasan kontrol dalam banyak hal. Egoisme menjadi ‘garda depan’ dalam hidup berbangsa dan bernegara. Tak perlu contoh-contoh untuk meyakini hal itu karena kita semua ada dan menjadi saksi dalam berbagai peristiwa di negeri sendiri. Jejak digital dan dokumentasi jurnalistik begitu banyak mencatat kegaduhan, kenyinyiran dan kekerdilan kita untuk berani menjunjung kebenaran.

Hingga tiba di ujung akhir 2019, kita melihat kegaduhan itu masih berlangsung. Kasus Garuda, kasus penghargaan diskotik Colosseum, radikalisme yang makin nyata disadari kehadirannya, bersih-bersih BUMN yang masih terus berlangsung. Tak ada yang melegakan hati anak-anak bangsa ini di akhir tahun 2019. Dan keprihatinan itu justru menjadi bekal kecemasan menyongsong tahun baru 2020. Adakah harapan baru untuk Indonesia baru?

Tak ada pilihan lain ialah merekatkan kembali nasionalisme. Meski jalan nasionalisme saat ini menghadapi kendala hebat di tengah canggihnya penyusupan radikalisme, fenomena retaknya kepentingan kelompok dan golongan, namun kita tak ada pilihan lain. Nasionalisme adalah jawaban paling jitu untuk mendapatkan kembali keindonesiaan kita. Maka dari itu, kewajiban kita bersamalah mencari jalan menumbuhkan kembali jiwa-jiwa nasionalis untuk menuju Indonesia hebat!

Kita sedang menghadapi jalan sukar untuk menghentikan kegaduhan bangsa. Tetapi good will dari pemerintah dan rakyat yang berkomitmen secara konsisten, membangun nasionalisme dengan cara-cara yang strategis dan tegas, mematikan celah-celah yang memungkinkan ‘kejahatan ideologis’ untuk bergerak, menutup peluang tindak korupsi, maka pelan-pelan bangsa ini akan mendapatkan kejayaannya yang paling hebat!

*Penulis, Putu Suasta (Alumnus Fisipol UGM dan Universitas Cornell)