Arya Suharja: Hindu Harus Mampu Respon Tantangan Zaman Tanpa Tinggalkan Jati Diri

(Baliekbis.com),Wakil Sekretaris Yayasan Pendidikan Widya Kerthi, I Ketut Arya Suharja mengharapkan umat Hindu mampu merespon tantangan zaman untuk menjaga kebudayaan dalam mendukung kehidupan yang baik dan berkelanjutan.

Kebudayaan tersebut diwariskan oleh para leluhur (tradisi) dapat diimplementasikan sesuai dengan desa, kala, patra, iksa dan sakti. “Upaya itu untuk mencapai peran sosial yang tengah berkembang dalam masyatakat baik tingkat lokal, nasional dan global,” kata Suharja yang juga Sekretaris Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) Bali, Minggu (30/8).

Hal itu diharapkan menghantarkan Bali yang lebih maju, sementara budaya masyarakat Palau Dewata selalu terbuka menerima informasi dan budaya dari luar tanpa melupakan jati diri yang pondasi fundamental. “Jika ditinjau seksama, beragam kebudayaan telah berkembang di Bali sejak dahulu hingga saat ini, memiliki sejarah yang panjang dan mampu berjalan berdampingan dan harmonis,” jelasnya.

Hal itulah yang menjadi daya tarik dunia untuk melihat keberagaman yang ada di Palau Dewata. Hampir semua agama atau keyakinan ada di Bali, dengan tradisi dan kesenian yang bernafaskan Hindu yang selalu dijaga agar ajeg dan lestari.

Ia juga mengatakan, keberhasilan itu tidak terlepas dari komitmen dan konsep pembangunan Bali yang diwariskan sangat kental nuansanya berbasis agraris (pertanian). Maka leluhur orang Bali membentuk sebuah organisasi Subak atau sistem irigasi yang berkembang dari abad kesembilan dari sejak kedatangan Maha Rsi Markandeya.

Suharja menambahkan, peranan Maha Rsi Markandeya sebagai salah satu tonggak sejarah dari perkembangan agama Hindu di Bali, dimana pertama kali menanam Panca Datu dan merintis masa sejarah pada abad ke-9. Masa kedatangan memperkenalkan masyarakat Bali dengan pengetahuan tentang keagamaan dan mulai adanya peninggalan sejarah dalam bentuk tulisan di bumi dewata ini.
Diperkenalkannya sistem irigasi (Subak), sistem bercocok tanam, masih dipertahankan sebagai salah satu keunikan budaya masyarakat Bali.

Untuk itu, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atau Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan dan Budaya akhirnya mensahkan budaya subak dari Bali sebagai bagian dari warisan dunia (world heritage) pada Sidang ke-36 di St.Petersburg, Rusia, Jumat, 29 Juni 2012.
Sedangkan peninggalan tertulis dari jaman Maha Rsi Markandeya dapat ditemukan berupa beberapa prasasti, lontar atau Purana, terutama sekali.

Dalam lontar tersebut disebutkan bahwa Maha Rsi Markandeya berasal dari India melakukan perjalanan suci menuju tanah Jawadwipa. Sempat beryoga semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di Hyang (Pegunungan Dieng), Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah yang pada saat itu berada dalam pemerintahan Mataram Kuno (wangsa Sanjaya dan Syailendra).

Menurutnya, subak merupakan implementasi sebagai terjemahan nilai menjadi norma yang dilengkapi dengan infrastruktur dan peran sosial. Grand desain subak bermanfaat bagi manusia, alam dan budaya secara sekala dan niskala, mengingat Bali merupakan pulau kecil yang menjadi satu kesatuan.

Untuk itu, subak merupakan implementasi nyata konsep Tri Hita Karana warisan adi luhung yang memiliki nilai universal. Berikutnya, subak diperkuat dengan berkembang pengaturan pada masing – masing daerah dalam bentuk Desa Pakraman. Desa Pakraman memiliki otonom dalam mengatur wilayahnya dalam menjamin kedamaian dan kesejahteraan rakyat (krama), namun tetap adanya koordinasi antar Desa Pekraman.

Dengan hal tersebut, kebijakan – kebijakan Desa Pekraman memiliki kesamaan – kesamaan dengan Desa Pekraman daerah lain tanpa adanya tekanan dari penguasa. Desa Pekraman akan mengikuti dari tokoh yang menjadi contoh atau disucikan. Saat ini Desa Pakraman dikenal menjadi Desa Adat. (art)