Arya Sandhiyudha: Semua Elemen Harus Kompak Lawan Terorisme

(Baliekbis.com), Kebijakan penanggulangan terorisme di Indonesia harus tetap khas Indonesia, berbasis penegakan hukum. Tapi juga perlu mempertimbangkan keterlibatan lebih jauh TNI karena skala ancaman itu beragam dan apalagi kalau sudah menyentuh subjek dan objek vital nasional dan tingkat bahaya,” ujar Pengamat Politik dan Intelijen Internasional Dr. H. Arya Sandhiyudha saat menjadi pembicara dalam seminar “Bersatu Melawan Terorisme” yang berlangsung di Mal Park 23 Tuban, Rabu (23/5) malam.

Dalan seminar yang dihadiri mahasiwa, pelajar dan berbagai tokoh dan kalangan itu juga tampil sebagai pembicara yakni Ketua FKUB Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, Ketua FBN Bali Agustinus Nahak,S.H., M.H. serta dari kepolisian, TNI dan Aliansi Masyarakat Pariwisata Bali.

Dr. Sandhiyudha juga mengingatkan perlunya peran BNPT sebagai koordinator penanggulangan terorisme dievaluasi agar lebih efektif dari sekarang sehingga tak sampai kecolongan lagi. Penguatan intelijen juga harus dilakukan sehingga setiap ada gejala atau potensi gangguan bisa segera ditangkal demi penyelamatan piblik. Menurut Sandhiyudha penanggulangan terorisme berbasis penegakan hukum akan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sebab setiap terpidana teroris diadili secara terbuka dan bukti-bukti diperlihatkan di pengadilan. Dan media juga akan menceritakan kepada publik hukum yang dijatuhkan.

Dikatakan tiap negara menyikapi terorisme berbeda. Di Asia Tenggara ada perbedaan. Thailand dan Filipina menggunakan pendekatan yang lebih terfokus militer. Singapura dan Malaysia menggunakan pendekatan yang lebih terfokus intelijen. Sementara, Indonesia menggunakan pendekatan yang lebih terfokus pendekatan hukum berbasis pertimbangan Indonesia sebagai negara hukum sekaligus demokrasi, maka sistem peradilan pidana dijadikan dasar penanggulangan terorisme.

Dengan situasi aksi terorisme terbaru, maka legislasi UU perlu mempertimbangkan penguatan intelijen dan perbantuan militer dengan tetap kondisi tertentu, misal perlu diatur dalam UU, bagaimana untuk terorisme dengan senjata pemusnah massal atau subjek sasaran adalah objek vital nasional.

Penguatan kewenangan intelijen dalam penanggulangan terorisme di Indonesia tidak akan membuatnya sama dengan ISA di Singapura dan Malaysia. Sebab, Indonesia akan tetap menggunakan pendekatan terfokus pada pendekatan hukum dan pasti ada unsur penggunaan senjata secara terbatas, pembuktian di pengadilan secara terbuka, namun peringkusan di awal dapat mencegah jatuhnya korban jiwa dari sipil dan meluasnya keresahan.

Saat ini menurutnya mayoritas perang terjadi karena perebutan sumber daya. Jarang sekali ada yang disebabkan agama. Dulu tren perang itu antar negara. Sekarang, apalagi di Asia Tenggara, perang negara versus negara dalam bentuk regular dan konvensional nyaris tidak ada. “Kini eranya perang non konvensional dan non regular yaitu perang negara versus aktor non negara. Karena itu kita mesti punya strategi cerdas (smart power),” tegasnya. (bas)