Aan Mansyur dan Agustinus Wibowo Bincangkan Bahasa dan Sastra di Era Milenial

(Baliekbis.com), Dua penulis kenamaan Indonesia, M. Aan Mansyur dan Agustinus Wibowo berbagi proses kreatif penciptaan mereka di Bentara Budaya Bali (BBB), Sabtu (27/10/2018). Program yang dikemas dalam Dialog Sastra #61 ini merupakan kerjasama antara LPM Suara Satwa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dengan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2018, serta didukung oleh BBB. Ini selaras memaknai Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa yang jatuh pada bulan Oktober, merujuk tajuk “Suara Semesta, Menggapai Rindu Pada Sastra”.

Selain memaparkan perihal proses cipta masing-masing, berikut motivasi dasar yang mendorong mereka untuk menulis, keduanya juga membincangkan perihal bahasa dan kecenderungan sastra di era milenial kini. Aan Mansyur, sebagaimana diketahui adalah seorang penyair dan penulis buku “Tidak Ada New York Hari Ini”. Puisi-puisinya turut menjadi bagian dari film Ada Apa Dengan Cinta 2.

Dikisahkan Aan, mula dirinya menulis justru karena ia termasuk pribadi yang introvert. Menulis merupakan cara ia berkomunikasi dan “bertemu” dengan orang lain tanpa harus bertatap muka secara langsung. Meski belakangan, dengan populernya film AADC 2 dan buku-buku puisinya, mau tidak mau ia justru semakin sering harus berhadapan langsung dengan publik. Aan mengakui bahwa menulis telah menjadi kebutuhan baginya dan bahasa merupakan media aktualisasi diri.

Sementara Agustinus Wibowo, penulis buku Titik Nol: Sebuah Makna Perjalanan (2013), memulai proses kreatifnya sebagai seorang fotografer. Langkahnya bermula pada tahun 2005 ketika Agustinus memulai petualangan perjalanan darat keliling Asia, berangkat dari China melintasi negara-negara Asia Selatan dan Asia Tengah, hingga menetap sebagai jurnalis foto di Afghanistan selama tiga tahun.

Agustinus mengungkapkan bahwa foto-foto yang ia ambil sebagian besar mengedepankan sosok manusia atau human interest. Hingga pada satu titik ia merasa sebuah kisah tidak lagi cukup hanya disampaikan lewat foto, namun sebaliknya kini ia ingin menyampaikan begitu banyak cerita dari sebalik foto melalui tulisan. Menurutnya, untuk bisa menghasilkan tulisan yang realistis seorang penulis harus melakukan perjalanan dan bersentuhan dengan kenyataan hidup. Perjalanannya ke berbagai penjuru negeri juga membawa Agustinus pada pemertanyaan mendasar perihal identitas dan ke-Indonesiaan. Senapas dengan Aan, seluruh kegelisahan kreatif dan pemertanyaan tentang akar kultur mereka pada akhirnya bermuara pada kekayaan dan keragaman kultural Indonesia.

Diakui Agustinus dan Aan Mansyur di era yang serba digital ini generasi milenial cenderung lebih mudah teralihkan dan tantangan terberat bagi anak muda sekarang adalah zaman yang bergerak terlalu cepat. “Waktu membaca cenderung berkurang, sedangkan waktu untuk menulis menjadi kurang efektif. Mungkin sesekali kita harus melakukan detox internet,” ujar Agustinus. Selaras itu pula, Aan Mansyur mengajak anak-anak muda untuk mulai lebih banyak menyimak atau mendengarkan. Kartika Dewi Kusumawardhani, Ketua Panitia dari LPM Suara Satwa, mengungkapkan bahwa melalui momentum ini, diharapkan dapat terbangun karakter pemuda Indonesia yang idealis dan intelek, seraya membangun kesadaran akan pentingnya bahasa dan literasi dalam mempererat persatuan serta memajukan bangsa. (ist)