28 Pelukis Bali Pameran di Breeze Art Space

(Baliekbis.com),
Melalui berbagai teknik dan gaya, dua puluh delapan pelukis dari Bali yang tergabung dalam komunitas “Militant Arts” menampilkan karya-karya mutakhirnya dalam pameran bersama bertajuk “Spirit of Nature” yang digelar di Breeze Art Space, Green Office Park BSD City, Tangerang, 18 September hingga 14 Oktober 2018.

Pameran yang dikurasi oleh Wayan Jengki Sunarta ini dibuka oleh Jenny Wiriyanto, Direktur Maybank. Dalam pameran ini, orang bisa melihat dan merenungi bagaimana empati dan simpati mereka pada alam, hubungan antara sesama manusia, hingga mempertanyakan eksistensi diri di tengah ruang sosial dan budayanya.

Lukisan Nyoman Sujana Kenyem dan Made Gunawan, misalnya, merepresentasikan interaksi manusia dengan pepohonan. Lukisan-lukisan ini dibikin dengan kesadaran akar budaya yang sangat kental pada filosofi Tumpek Bubuh. Bahkan, lukisan-lukisan Wayan Dastra dengan jelas menunjukkan bagaimana bentuk rasa terima kasih dan interaksi manusia dengan alam.

Atau, kesadaran budaya yang berkaitan dengan filosofi Tumpek Kandang bisa kita lihat pada lukisan-lukisan Made Wiradana yang merepresentasikan pentingnya babi dan ayam dalam kehidupan masyarakat Hindu-Bali. Interaksi manusia dengan alam dan misterinya diolah menjadi lukisan-lukisan surealisme oleh Edy Asmara. Di sini ikan, burung hantu, kelinci, gajah seolah hadir dari alam mimpi (niskala) dan mengetuk kesadaran kita betapa alam penuh dengan kandungan misteri.

Di sisi lain, alam (darat maupun laut) adalah tempat bermain mahkluk hidup. Hal itu dilukiskan dengan gaya naif oleh Atmi Kristiadewi dan Pande Paramartha. Warna-warni ceria mendominasi lukisan mereka, sejalan dengan idealisasi mereka bahwa alam adalah tempat bermain yang harus terus dijaga kelestariannya. Penghancuran alam adalah sama dengan pembunuhan terhadap ibu kandung sendiri.

Keagungan dan keindahan pesona alam bisa kita renungi pada karya-karya Anthok S, Kenak Dwi Adnyana, Ketut Suasana Kabul, Ngurah Somya Prabawa, Romi Sukadana, Uuk Paramahita. Pesona alam selalu membuat takjub para pecintanya. Alam dalam karya-karya mereka adalah alam yang selalu membuka diri untuk dimaknai kembali. Meski alam memegang peranan penting, hubungan antara manusia juga tidak bisa diabaikan. Hal ini bisa disimak pada karya-karya Galung Wiratmaja, Kadek Eko, Loka Suara, Made Duatmika, Ngurah Paramartha, Wayan Suastama. Hubungan antara manusia atau pergaulan sosial menjadi hal yang sangat penting dalam konteks sosial dan budaya di Bali. Pergaulan dan solidaritas sosial (adat) menjadi benteng terakhir yang hingga kini masih terus dijaga oleh masyarakat Bali.

Sementara itu, alam dan budaya dalam karya Teja Astawa adalah upaya menghubungkan diri dengan masa lalu. Ikon-ikon seni lukis wayang Kamasan diolahnya kembali dan dimaknai ulang untuk merepresentasikan peristiwa imajinasi atau pun peristiwa kekinian. Hal senada juga tampak pada karya-karya Pande Wijaya yang berupaya mengungkap persoalan kekinian dengan menjalin ikonografi tribal masa silam dalam bentuk mandala dan bentuk lainnya.

Misalnya, melalui pengamatan dan perenungan yang jernih, persoalan alam, harmonisasi alam, dan kecemasan akan kehancuran alam diolah menjadi lukisan-lukisan abstrak oleh Made Supena, Nyoman Diwarupa, Putu Bonuz, dan Ketut Agus Murdika. Warna-warna yang mereka representasikan pada bidang kanvas sejatinya adalah bentuk empati dan simpati pada alam.

Dalam konteks biosentrisme dan ekosentrisme, alam (nature) memang bergandengan dengan budaya (culture). Alam dan budaya saling menghidupi. Kepedulian pada spirit budaya Bali diungkapkan oleh Made Dolar Astawa melalui olahan warna yang bernuansa magis. Sementara itu, melalui sapuan-sapuan warna yang cenderung cerah, Gusti Buda berusaha menemukan kebebasan ekspresinya dalam memaknai budaya Bali. Gejolak batin yang senada juga tampak pada lukisan-lukisan Ketut Sugantika dan Nyoman Diwarupa. Alam dan budaya membuka berbagai kemungkinan makna pada bidang-bidang kanvas mereka.

Begitulah. Lukisan-lukisan yang dipamerkan oleh dua puluh delapan perupa dari Bali ini menyuguhkan banyak renungan. Bahwa, selaras dengan cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme, alam adalah bagian sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itulah, kita seharusnya bisa dan mampu mengharmoniskan diri dengan alam. (ist)