12 Kesepakatan Fintech di IMF-WB, Rai Wirajaya Harapkan Lahir Lebih Banyak Unicorn Dari Indonesia

(Baliekbis.com), Berbagai isu dan permasalahan soal perusahaan keuangan berbasis teknologi atau financial technology (fintech) secara global menjadi salah satu materi bahasan dalam pertemuan tahunan IMF-WB di Nusa Dua pada 8-14 Oktober 2018. Diskusi ini menghasilkan 12 pokok bahasan yang diproyeksikan menjadi standar fintech secara internasional termasuk harus dijalankan di Indonesia sesuai kondisi dan perkembangan yang ada.

“Lahirnya 12 pokok kesepakatan secara global soal fintech ini kami sambut baik. Semoga ini bisa menjadikan ekosistem startup fintech lebih bagus dan bisa lahir lebih banyak unicorn dari Indonesia. Apalagi banyak investor dan capital venture yang ingin investasi di fintech Indonesia,” ujar Anggota Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan dan perbankan I Gusti Agung Rai Wirajaya, Rabu (17/10) di Denpasar.

Rai Wirajaya berharap 12 pokok kesepakatan tersebut mampu membangun dan mengembangkan ekosistem startup fintech di Indonesia agar lebih maju dan juga memberikan aspek kepastian pasar serta perlindungan bagi konsumen.

Bahkan politisi PDI Perjuangan ini optimis dalam beberapa tahun ke depan akan lahir unicorn baru (perusahaan startup teknologi dengan valuasi atau nilai perusahaan di atas 1 miliar dolar AS atau setara Rp 15 triliun lebih) dari sektor fintech. Saat ini Indonesia telah mempunyai empat startup/perusahaan teknologi berlabel unicorn yakni Go-Jek (open platform on demand di bidang jasa transportasi, pemesanan makanan dan jasa lainnya), Tokopedia (e-commerce), Traveloka (online travel agent, penyedia pemesan kamar hotel dan pesawat secara online) dan Bukalapak (e-commerce).

Unicorn selanjutnya diyakini lahir dari sektor fintech. “Sebab nilai pasar di industri fintech ini terus berkembang pesat dengan jumlah penyaluran dana melalui platform fintech juga terus meningkat signifikan,” imbuh Rai Wirajaya.

Contohnya penyaluran pinjaman perusahaan  fintech peer to peer (P2P) lending terus meningkat. Sampai Juli 2018, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penyaluran pinjaman fintech tembus Rp 9,21 triliun. Jumlah ini mengalami peningkatan signifikan yakni 259,36% secara year to date (ytd). Meski jumlah penyaluran besar, tingkat kredit bermasalah fintech masih rendah atau sekitar 1,4%.

Perusahaan fintech di Indonesia diprediksi akan tumbuh pesat ‎dalam periode 10 tahun ke depan. Riset terbaru Morgan Stanley, memproyeksikan nilai pasar perusahaan fintech bisa mencapai USD150 miliar di 2027.

Namun menurut Rai Wirajaya, selain ada peluang pasar yang besar, tantangan fintech juga banyak. Salah satunya maraknya fintech bodong yang meresahkan masyarakat, nasabah dan juga pihak perbankan. Hingga September 2018 ini jumlah platform P2P Lending ilegal yang berhasil dikumpulkan OJK(Otoritas Jasa Keuangan) melalui Satgas Waspada Investasi mencapai 407 entitas.

“Jadi kesepakatan global soal fintech pada pertemuan IMF-IMF juga salah satunya menyoroti risiko atas hadirnya fintech dan bagaimana perlindungan data konsumen,” ujar Rai Wirajaya.

Untuk itu pemerintah harus tetap mengatur keberadaan fintech namun bukan dengan regulasi yang ketat tapi yang akomodatif. “Kalau terlalu ketat sudah tidak bagus tapi bagaimana buat ekosistem yang nyaman untuk perkembangan fintech dan juga dalam rangka menguatkan ekonomi digital serta mendorong inklusi keuangan nasional yang pada tahun 2016 baru mencapai 67,82 persen dan indeks literasi keuangan baru 29,66 persen,” papar Rai Wirajaya.

Sementara itu 12 pokok bahasan tentang fintech di pertemuan tahunan IMF-WB beberapa waktu lalu sebagaimana dilansir katadata di antaranya peran fintech dalam perekonomian untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan pendapatan masyarakat,  memastikan adanya stabilitas sistem moneter dan keuangan domestik.  (bas)